Cita-Cita dan Realita yang Berjarak Jauh

    

    Dulu waktu masih sekolah aku seringkali membayangkan hal-hal yang terjadi di dunia pada masa depanku nanti dengan cara yang spesifik dan terstruktur seperti membaca rangkuman biografi seseorang. 

    Belum cukup jelas? Singkatnya begini, aku punya visi yang mantap untuk berambisi pada kemampuan berbahasa inggris, matematika dan biologi. Supaya nantinya kompetisiku pada hal itu bisa membimbing jalanku jadi dokter spesialis anak di salah satu rumah sakit di daerah Jawa. 

    Hidup dengan mempunyai satu anak laki-laki yang tidak banyak mau serta sehat dan suami yang suka memancing setiap hari Sabtu sore sebagai event malam Minggu keluarga kecil kami; adalah langkah lanjutan yang bisa kusebut poin bonus. 

    Nah, kalau nantinya aku tidak bisa bersama dengan orang yang kucintai maka kuputuskan untuk hidup keren dengan profesiku sebagai dokter itu dan menjadi rich aunty cantik awet muda dengan wangi perpaduan mawar dan apel merah dengan sedikit sentuhan vanila ala HMNS O yang kunjungannya setiap hari Minggu untuk membelikan mainan terbaru dan uang saku ke para keponakan selalu dinantikan.

Cita-Cita di Usia Belia

    Mungkin jika langsung ditembak dengan pertanyaan " Mau jadi apa nanti?" menjawab dokter akan terasa jauh. Namun aku percaya jika kita menitihnya dengan melakukan keberhasilan dalam beberapa langkah kecil, maka suatu ketika kita akan sampai di tujuan itu. 

    Kalau kalian? Apa yang kalian bayangkan ketika mengawang mengenai masa depan? Sebenarnya tak cuma itu sih yang ada di bayanganku kalau mau ngomongin kehidupan macam apa sih yang mau kucapai dengan segala pemberian Tuhan Yang Maha Baik ini padaku. Kutuliskan banyak versi yang sekaligus juga jadi pengharapan, ya siapa tahu diijabah bukan?

    Tapi, belakangan setelah lulus dari institusi pendidikan aku menyadari cukup banyak fakta pahit yang bikin getir pangkal lidah hingga seisi kerongkongan, terlalu memuakkan untuk di telan sekaligus begitu sangsi buat dipertanyakan.

    Mimpi-mimpiku yang sangat terstruktur dan terasa dekat itu ternyata terlalu besar untuk kurengkuh. Dan perasaan bahwa aku tidak cukup layak ternyata sangat menyakitkan lebih dari apa yang bisa kubayangkan. Sekarang aku paham kenapa banyak orang yang takut akan penolakan hingga berakhir tak mencoba sama sekali.

    Maksudku aku bukannya bermimpi untuk bisa menerbangkan satu kabupaten lengkap dengan kolam-kolam dan sungai yang ada di sana. Aku hanya ingin kehidupan yang bisa kubayangkan sedari kini dan tidak membuatku jemu nantinya. Walau hal itu, memang tak terelakkan.

    "Tapi, ya begitulah kehidupan" kalau kata kolegaku yang kerap menghela napas tiap ada tambahan tugas dari bos.

Jarak Antara Realita dan Harapan

    Sebagai manusia kita selalu diajarkan untuk memimpikan versi terbaiknya diri kita. Mimpilah yang tinggi, supaya kalau nantinya jatuh, kamu masih menggantung di bintang-bintang. Dalam law of attractions pun begitu, tuliskan mimpimu dan visualisasikan buat ia terasa dekat, terasa nyata. 

    Tak berhenti di situ, mbak Taylor Swift pun juga turut menambahkan, its okay to fake it till you make it till you do. Tapi rupanya jalan menuju mimpi tak semulus melaju di tol. Banyak hambatan yang terjal dan bahkan belum terjamah tangan manusia. Mungkin sudah ada, tapi bukan tanganku.

    Ketika aku masih cukup muda, pada usia belasan tahun, memang benar ambisi dan visiku pada masa depan yang jelas itu membimbingku menjadi anak yang pintar dalam hal akademis dan bisa diandalkan tiap tugas kelompok. Bagaimana aku tahu itu? Ya, sedikit senyum sumringah dari teman sekelompok dan helaan napas lega cukup memberi makan egoku kala itu. Peringkat 3 besar yang kukantongi tiap semester juga sebuah pit stop yang menarik.

    Namun yang tak kusadari kala itu adalah, aku cuma pintar secara akademis saja. Pintar menghapal materi. Aku tidak begitu belajar bahwa dunia tidak bisa dihapal. Dunia adalah sebuah zat cair yang lebih fleksibel serta menyebar cepat dengan kecepatan cahaya. 

The Butterfly Effect

Dunia tak terdefinisikan. Dalam satu jentikkan jari, kau bisa mengacaukan hidupmu yang kau bangun dengan darah, keringat, dan air mata, selama bertahun-tahun. Hanya butuh satu tindakan bodoh. Satu tindakan bodoh, seperti melempar laptop pada bos mu atau melampiaskan amarah pada dosen pembimbing yang terus menemukan kesalahan. Satu saja kalimat tidak tepat bisa menggagalkan sebuah rencana. 

    Aku, kita, tidak belajar keterbukaan akses yang sangat bebas itu di sekolah dulu, setidaknya menurut pengalamanku; kalau sekarang tidak tahu. Tapi yang jelas, mimpi sebagai dokter sekarang jadi tak tergapai. Kok bisa? 

Little Throwback

    Kala kelas 12 SMA aku berada di titik terburuk dalam hidupku. Kenapa? Akan kutarik mundur sedikit. Ayahku meninggal ketika aku duduk di bangku kelas 11 SMA. Tepat 2 bulan sebelum ulang tahunku yang ke tujuh belas. Sebuah perayaan sweet seventeen yang tak akan pernah ada dalam sejarah hidupku. Alih-alih aku dan keluarga berkabung kala itu.

    Namun yang namanya duka, memang tidak bisa diprediksi kapan datangnya, yang bisa kita lakukan adalah mengelola rasa sakit itu. Jujur, aku memang tidak terlalu dekat dengan ayah, sehingga kelenyapannya tak langsung menghantam dadaku dengan tangis.

    Aku berusaha menjadi sosok yang kuat sebagai anak pertama. Aku menenangkan ibuku yang kehilangan rumahnya di dunia, adikku yang kehilangan sosok tersayangnya dan nenek yang kehilangan anak sulungnya.

    Akumulasi rasa duka mereka dan kesedihanku yang datang belakangan meracuni otakku enam bulan setelahnya, ketika suara dadjokes ayah sama sekali tak terdengar lagi. Ketika kulihat helm di kabinet kayu ujung ruangan mulai tertumpuk debu. Ketika kulihat mobil yang teronggok tanpa dipanasi selama berminggu-minggu. Ya, ia sudah benar-benar meninggalkan kita.

    "Tega sekali!" Kira-kira begitulah perasaanku. Namun aku berusaha untuk tak menggubrisnya. Setiap kali aku memikirkannya, aku berusaha mengalihkan fokusku untuk melakukan hal lain. Dan ternyata apa yang kulakukan itu justru malah membuat rasa sakitku semakin parah hingga aku tak mampu fokus pada pelajaran apapun. Aku hanya datang ke sekolah untuk menunggu jamkos walau itu sangat langka terjadi di bangku kelas 12. 

    Aku sama sekali kehilangan minat pada matematika dan tak mau menghapal apapun lagi. Sering telat masuk kelas tambahan pagi dan tidur di kelas. Beruntung, kala itu aku mendaftar SNMPTN dengan dukungan rekan sebangku aku yang sangat supportif dan mengerti keadaanku. Ia selalu mengingatkanku tentang jadwal pendaftaran yang sangat mungkin aku lewatkan tanpa bantuannya. Ia seperti cahaya yang menuntunku melewati terowongan kala itu. 

    Nilai yang kubangun sejak semester 1 memang cukup memuaskan meski semester 5 sangat kacau. Aku tak percaya diri menuju ke kampus nomor 1 2 3 4 di impianku jadi kupilih sebuah universitas yang sudah kusiapkan di opsi ke 7. Universitas baru yang peluang diterimanya cukup besar, sudah negeri, dan ada jurusan yang kuminati meski belum pernah ada alumni yang ke sana, aku tidak punya kerabat di daerah itu, dan lokasinya jauh dari rumah, menyeberang selat. Cukup terpencil.

    Aku mendaftar kesana dengan beberapa pertentangan dari teman. Mereka bilang aku tak perlu ke situ, aku bisa ke kampus pilihanku kainnya yang jauh lebih dekat. Aku tidak cerita ke ibuku karena ia masih kalut kala itu. Setibanya tanggal pengumuman aku diterima. 

    Kala itu ternyata temanku semasa SD yang kebetulan pernah PDKT denganku: walaupun aku akhirnya dighosting, menghubungiku. Ia juga mendaftar di universitas yang sama denganku atas dorongan BK. Akan ku perjelas. Di jama itu wifi dan internet belum semasif sekarang. 

    Kala itu kebetulan aku punya koneksi internet yang cukup cepat untuk melihat hasilnya. Aku memeriksa hasil pendaftaran temanku ini dan ia diterima juga. Aku senang punya teman dari daerah sekitarku. 

    Tapi anehnya, aku baru merasa bahwa ini bukan pilihan yang bijak. Penyesalan datang terlebih, ternyata ibu tidak setuju aku pergi ke situ karena ada sebuah stereotip tentang daerah itu.

Manusia dan Perasaan Serakah

    Aku tidak merasa puas dengan meletakkan mimpiku begitu saja dan berakhir di opsi 7. Aku tahu, itu memang sangat serakah. Egoku tampil dan menguasai hampir semua keputusanku di waktu itu. Tentu saja aku ingin diterima di universitas yang bergengsi terlebih kudengar ada siswa kelas sebelah yang diterima di kampus almamater kuning lewat SNMPTN, yang mana tak terduga padahal ia jarang masuk 3 besar. 

    Rasa tidak puas dan keinginan untuk membuktikan bahwa aku lebih baik dari yang semua orang kira memang menyesatkanku kala itu. Banyak temanku yang sedih karena tidak diterima di kampus impian mereka lewat jalur ini.

    Aku seharusnya bangga. Namun aku merasa tidak puas. Pergolakan ini makin membuncah ketika masa-masa pendaftaran ulang. Aku merasa tidak seharusnya melakukan semua ini. Impulsif, aku mundur dari SNMPTN dan memutuskan untuk keluar. Tentu saja, hal ini ditentang oleh guru BK hingga kami berdebat cukup tegang kala itu.

    Setelahnya, hidup tidak berjalan lebih mudah. Rencana gab yearku malah terus memanjang tanpa waktu yang bisa ditentukan. Masa jaya orang tuaku sudah habis. Ibu bekerja banting tulang sendiri dan warisan ayah, sudah sirna. Singkatnya kami tersungkur. 

    Rumahku yang dulunya ramai karena ditinggali keluargaku dan juga kakek nenek mendadak sepi setelah satu tahun ayah berpulang. Kakek menyusulnya. Dua tahun setelahnya, kakek dari pihak ayah juga meninggal dunia. Alhasil, kami para perempuan berjuang untuk tetap menghidupi diri kami.

    Aku, ibu, nenek, dan adik. Kami berempat berusaha untuk tetap melanjutkan hidup hari demi hari. Aku pun melakukan apapun yang kubisa untuk mencari kerja dan bertahan hidup. Beruntungnya, kami tak memiliki utang dalam bentuk materi apapun kala itu hingga kini.

    Semua pekerjaan kujajal. Aku pernah bekerja menjadi sales, pegawai toko, marketing, admin, freelancer, kasir, pegawai resto, hingga kini aku bisa merasa cukup nyaman dalam bidang content writer yang kesehariannya membuat berita hiburan.

Fase Penerimaan

    Kini aku tahu, bahwa sebenarnya tidak apa-apa loh ternyata hidup tidak sesuai dengan planning kita dari awal. Bahwa ternyata, tidak apa-apa untuk melanjutkan hidup yang mungkin tak sesuai dengan apa yang kita harap atau rencanakan sebelumnya. 

    Hidup biasa-biasa saja alias medioker yang mengikuti arus ternyata tidak sepayah itu, ya. Aku menyadari ini usai menjadi ikan kecil di kolam yang amat besar. Rasa sakit hati, dendam atau kebencian yang membara dalam diri memang bisa menjadi motivasi untuk terus maju, tetapi ini merupakan pedang bermata dua.

    Perasaan marah dan emosi yang berapi-api itu ibarat menggenggam bara yang nantinya akan dilemparkan ke orang lain, tapi tetap saja, yang pertama kali sakit karena rasa panas itu adalah diri kita sendiri.

    Selamanya ikhlas dan penerimaan atas maaf memang menjadi pelajaran yang tak akan pernah lepas dari kehidupan kita sebagai manusia. Memang sulit sekali, namun waktu perlahan akan mengajak kita terbiasa, bukan lupa, tapi akan membiasakan kita dengan luka itu.

    Jauh di dalam sana aku masih berharap bisa melanjutkan mimpi lagi. Si anak kecil ini tak pernah padam semangatnya. Untuk diriku yang dulu, aku memaafkanmu. Tidak apa-apa, tanpamu, aku tak akan ada di titik ini dan tak akan bisa membagiakan kisah ini. Tak ada penyesalan, tak ada niatan mengubah masa lalu. Semuanya, baik-buruknya memiliki pelajaran berharga. Mari kita terus berjuang untuk kedepannya, ya!


Komentar