Makan






We are what we eat cause we eat for live. All this time we eat in order to survive. But now, its no longer like that anymore. This is the time where we looking for pleasure and experience the new layers, tastes, and textures on the food we eat.

Manusia bekerja yang utama untuk mencukupi kebutuhan perut, tidak bisa diganggu gugat. Selayaknya bensin dalam kendaraan bermotor, makanan adalah bahan bakar penggerak detak kehidupan sekaligus sumber energi untuk melanjutkan hari ini. Tapi lebih dari kebutuhan pokok, makanan bisa menjadi sarana rekreasi yang tak baru lagi. Kombinasi rasa, tampilan, aroma, dan manfaat yang berpadu dalam sepiring hidangan nikmat penuh cinta dari tangan eksekutor makanan mahir takkan pernah gagal memunculkan rasa tertarik, tak peduli entah pagi, siang, atau malam.

Secara histotis makanan bisa menjadi tonggak sejarah yang mengukur kebudayaan manusia. Jika mau menengok kebelakang dan menilik kembali, peradaban berjalan seiring dengan perkembangan kemahiran manusia dalam mengolah makanan. Dalam pembabakan sejarah, masa berburu dan mengumpulkan makanan merupakan era paling dasar yang membuktikan bahwa sejak awal urusan perut adalah hal mutlak, bahkan sebelum adanya aksara dan papan. Berburu dan meramu tingkat sederhana bebarengan dengan budaya hidup nomaden yang normalnya ada di dekat sumber air. Kjokkenmoddinger menjadi salah satu saksi bahwa manusia dan makanan adalah satu yang beriringan. 

Kebudayaan manusia berlanjut seiring masa bercocok tanam. Manusia mulai membabat hutan dan menjadikannya lahan yang menjanjikan makanan dengan proses sederhana sekaligus menjadi cikal bakal pertanian super modern kita sekarang. Budaya dan bentang alam sekitar menciptakan perpaduan cita rasa sekaligus cerita yang beragam. Menjadikannya wariaan yang patut dipertahankan seiring zaman.

Bagi orang awam yang tak begitu mahir memasak dan belum mencoba begitu banyak hidangan seperti saya, makanan dan bagaimana bahan-bahan itu membangun momentum dan cerita adalah hal yang worth living for. Ia bukan sekadar kebutuhan pokok saja. Saya mengamati bahwa beberapa tahun kebelakang dunia fnb menjadi sarana entertainment yang menjanjikan dan bongsor sekali perkembangannya. Menjamurnya coffe shop di tiap sudut jadi salah satu bukti tak terbantahkan. Bahwa kawula muda tak sekadar memandangnya sebagai kebutuhan isi perut melainkan merebak ke kehidupan sosial juga kepentingan instagram. 

Tapi lebih dari itu, bagi saya kadangkala makanan adalah pelampiasan emosi yang entah baik atau buruk namun ia bekerja dengan menjadi distraksi bagi penat di kepala agar lebih fokus pada lidah dan perut. Agar rasa melelahkan itu bukan menjadi karakter utama. Beberapa bulan kebelakang saya sadar bahwa saya cenderung lebih banyak makan ketika berada dalam kondisi yang kurang saya sukai. Ternyata bagi sebagian orang hal yang saya alami juga terjadi pada mereka. Makanan sebagai pelampiasan stres yang mengamuk di kepala. 

Apalagi belakangan saya suka sekali menonton dokumentasi perihal makanan. Beberapa orang bekerja untuk membeli makanan dan beberapa bekerja dengan makanan sebagai sarana. Its such a really different things but yet the same dont you think?

Tapi, tak semua makanan itu baik. Makanan instan dan junk food sebagai contoh nyata yang tak lepas dadi kehidupan sehari-hari. Rutinitas yang padat dan rasa malas serta menginginkan sesuatu serba cepat adalah hal yang membuat sebagian dari kita memilih makanan-makanan tersebut. Kalau kita adalah apa yang kita makan, sebenarnya akan lebih baik kalau kita yang mengolah makanan kita sendiri. Selain bisa meningkatkan keahlian soal urusan dapur dan perbumbuan, memasak juga menjadi kegiatan yang bagus untuk meningkatkan fokus dan kreativitas. Tapi tentu saja tak semudah itu dan tidak semua orang punya waktunya. 

Sebenarnya dengan kita tahu apa yang ada dalam makanan yang kita konsumsi itu sudah cukup. Saya ingat ada sebuah cara makan di Jepang yang memaksa kita fokus dan menghindari distraksi selama menyantap makanan. Sesekali junk food bukan dosa besar yang menjadi masalah adalah ketika kesehatanmu dipertaruhkan demi sebuah kepraktisan sesaat.

Kalau kamu bagaimana ceritamu dengan makananmu?


Komentar