Insecure


Beberapa tahun kebelakang isu kesehatan mental makin sering dibicarakan. Mulai dari postingan akun-akun berpengaruh di Instagram, berbagi perspektif dari para penyintas di kanal Youtube maupun podcast, sampai pada penerapan di kehidupan nyata. Satu dekade lalu, isu ini amat tertimbun dan tak kedengaran gaungnya, bahkan cenderung dicap oleh berbagai stigma yang rasanya kaku kalau dibawa ke 2022. Kayanya salah satu dampak positif dari adanya media sosial ya ini, mengangkat isu penting yang lama terpendam. Tapi di sisi lain media sosial juga makin menghancurkan kita dari dalam, pelan dan senyap namun terasa.

Kalau ngomongin soal kesehatan mental sebenarnya aku juga tidak paham-paham amat sih. Karena disamping topik ini termasuk baru, realitanya kurang terekspos di depanku. Gini aja deh, sakit fisik adalah hal yang lumrah dan kepedualian masyarakat amat terlihat. Kenapa? Karena selain banyak contoh penyintas, kita juga sesekali mengalami, dan lingkungan membicarakannya secara nyata. Gedung-gedung rumah sakit yang berderet itu selalu ramai, dokter dan perawat tak henti bekerja. Apalagi puskesmas yang ada hampir di setiap kecamatan di tanah air (soal merata tidaknya itu gatau deng:)). Sedangkan perkara kesehatan mental? Nihil, terutama di masa kecilku. Apa-apa yang menyimpang dianggap gila saja. Sudah jadi kebiasaan manusia untuk menyederhanakan sesuatu dalam klasifikasi agar mudah buat diidentifikasi. Selain itu para penyintas tak berani buka suara ya tak lepas dari pandangan masyarakat. Sekalinya ada yang bersuara pasti dikasih saran yang kita kurang lebih tahu lah ya, disuruh lebih dekat sama Tuhan. Padahal yang namanya sakit ya harus diobati. Sama-sama sakit kenapa harus dibedakan dan dianggap tabu. 

Terlepas dari itu kesehatan mental merupakaan isu yang nyata di masyarakat. Apalagi di masa seperti sekarang ini, katanya bahkan ada riset yang mengatakan bahwa, saat ini kebahagiaan lebih sulit didapat. Kenapa? Bukannya sudah banyak yang peduli soal work life balance, manajemen stres, healing, dan sudah pada melek isu kesehatan mental? Masalahnya ya keterbukaan informasi itu yang bikin manusia-manusia seperti kita jadi membandingkan diri dengan yang lain. Hidup tak ubahnya jadi kompetisi. 

Kalau ngomongin soal kesehatan mental, insecure bagiku adalah bentuk paling dasarnya, karena sering mampir ia juga jadi penghuni yang sepertinya akan selalu ada. Aku dengan insecure jadi cerita yang lumayan lama terjalin. Sejauh yang aku ingat sejak masih duduk di bangku Sekolah Dasar, aku sudah merasa tidak nyaman dengan bentuk tubuhku. Aku masih ingat, saat itu SD kelas 3 berat badanku sudah menyentuh angka 40. Ejekan semacam gajah sudah bukan hal asing lagi sih. Terus, bentuk gigiku juga gak rata, sumpah sih sampai sekarang pun hal ini masih jadi sumber rasa ketidaknyamananku sampai saat ini kalau ngomongin soal penampilan. Ditambah lagi jaman segitu aku mana tahu skincare jadinya ya alakadarnya seperti anak SD biasa. Pada saat itu aku sudah merasa bahwa kulit sawo matang tidak dianggap cantik. Dan kenyataan bahwa kulitku lebih gelap dari teman-teman yang lain itu agak menyebalkan. Padahal ya memang begitu warna kulit mayoritas warga Indonesia. Tidak ada yang salah dari memiliki kulit sawo matang. 

Beberapa teman memakai jaket risleting saat berangkat sekolah tetapi yang dipakai cuma bagian lengannya aja, supaya tidak terpapar sinar matahari dan bikin kulit jadi hitam. Gila bukan, anak SD saja sudah berpikir begitu. Di jaman itu potongan rambut poni lagi booming banget sih, kayanya hampir semua murid perempuan gaya rambutnya begitu. Tapi aku tidak, belum berkeinginan pada saat itu. Sampai, temanku yang duduk tepat satu bangku di depanku bilang, 

"Coba dong potong poni begitu, pasti cantik."

Tidak hanya sekali dua kali loh. Akhirnya kan aku tergoda, ya sudah, sepulang sekolah aku meluncur ke tempat potong rambut dekat rumah teman. Menabung beberapa hari supaya bisa potong poni disitu. Aku ingat betul biayanya hanya 10k. Tapi memang sih, aku kalau pakai poni lebih lumayan. Yang jadi masalah, ternyata pakai poni itu super risih, setidaknya buatku. 

Ada sebuah cerita di masa SD yang sama sekali tidak bisa aku lupakan sampai saat ini. Ceritanya terjadi waktu aku kelas 5 SD. Pada saat itu adalah perayaan tahun baru Islam. Seperti tahun-tahun sebelumnya, setiap siswa diminta membawa bekal yang nantinya akan dimakan dengan rekan sebangku. Kebetulan saat itu, aku satu bangku dengan seorang teman yang aku sukai sejak lama. Teman ini, memang cukup terkenal seantero sekolah. Selain tampan, ia juga jago olahraga. Akupun memendam perasaan suka itu dalam diam selama bertahun-tahun, kujamin tidak ada yang tahu. Karena selain rasa tidak percata diri akan diriku, pernyataan semacam cinta hanya akan merusak pertemanan di masa SD. Kembali ke ceritanya, pada saat makan itu, aku dan dia sebangku. Tapi, baru beberapa suap, si lelaki ini pindah ke bangku lain menghampiri teman yang duduk sendirian. Tanpa sempat bertanya, aku mendengar ia berkata. 

"Gak kolu mangan nek kene." (Gak nafsu makan di sini) 

Sumpah ya dari situ aku hancur parah. Kaya kenapa gitu lo harus bilang begitu. Toh aku juga gak ngapa-ngapain. Darisitu rasa percaya diriku yang sudah rendah makin turun drastis hingga akhirnya bisa bangkit di pertengahan SMP karena sahabat yang supportif. 

Meski begitu sampai sekarang insecure, atau perasaan tidak aman jadi sesuatu yang presensinya cukup sering . Tiap kali lihat postingan orang lain di Instagram, muncul rasa di hati ini, semacam, wah keren banget ya, hebat, kok dia sudah bisa begitu ya di usia semuda itu, aku kapan ya, apa aku bisa? Gilanya, perasaan-perasaan seperti itu tadi sering muncul tanpa dirasa, terjadi begitu saja seolah memang harus begitu. Padahal aku sendiri juga tahu sih kalau apapun yang diunggah di media sosial itu adalah bentuk terbaik dari kehidupan individu yang sudah disortir, diedit, dan melalui banyak proses seleksi. Apalagi waktu jaman viral-viralnya konten satu milyar pertama beberapa waktu lalu, diri ini makin merasa jadi remahan kentang di pojokan bungkus ciki. 

Kadangkala, rasa insecure itu muncul bukan hanya karena faktor eksternal yang jadi pemicu. Seringkali aku dapati bahwa memang ada rasa inferior di dalam diri ini. Perasaan meragukan kemampuan diri sendiri yang sepertinya terbawa sejak masa kanak-kanak. Mungkin buat yang suka merasa insecure akan penampilannya, bisa saja sejak kecil memang kurang menerima afirmasi dari lingkungan soal fisiknya. Sehingga terbawa sampai dewasa dan merasa apa yang ada dalam dirinya selalu kurang. Begitu juga untuk bentuk insecure yang lain, soal kemampuan, karir, dll.

Tapi, biarpun begitu rasa insecure agaknya juga memiliki sisi positif. Seperti segala sesuatu yang ada di dunia ini yang katanya selalu punya dua sisi. Rasa insecure menjadi bahan bakar yang mampu memicu kita untuk semakin memperbaiki dirir dan mengasah kemampuan. Rasa insecure menurutku tidak bisa harus selalu diobati dengan bersyukur. Bagaimana kita bisa bersyukur kalau rasa di dalam hati bilang apa yang harus disyukuri. Dan menurutku tidak etis untuk menjadikan hidup orang lain misalnya penyandang disabilitas sebagai bahan kita bersyukur. Bicara soal bersyukur, hal besar seperti itu sudah selayaknya datang dari dalam diri kita sendiri. Rasa insecure harusnya diobati dengan penerimaan diri. Pemahaman bahwa memang setiap manusia diciptakan berbeda dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Namun, penerimaan dan pemahaman bukan berarti menghentikan pertumbuhan diri. 

Perjalanan untuk mencintai diri sendiri adalah hal yang panjang. Setelah bergelut dengan rasa insecure dan mulai menerima diri sendiri, maka tidak ada hal lain yang lebih tepat selain mencintai diri sendiri. Ia adalah rumah temlat kita berjuang, berlindung, dan pulang. Badan yang selalu ada menemani dalam keadaan apapun. Setianya setengah mati. Kalau hidup sudah berat, untuk apa kita membenci diri sendiri. We do our best. Dont let failure make you down. Theres always tomorrow to dream more, work more. Sometimes all you have to do is just listen to yourself. Knowing that theres no one care for you more like what yourself did you.

Perasaan seperti insecure memang sudah selayaknya ada di dalam diri manusia sih tidak bisa dipungkiri. Tetapi bagaimana kita bisa menyikapi hal itu, adalah masalah selanjutnya yang harus lebih kita pikirkan. And Its okay to not to be okay, just take time, rest, untill you feel like you again. Seperti kata Rintik Sedu, insecure adalah hak setiap manusia. Memang wajar kok merasa seperti itu. Kalau kita merasa diri ini masih kurang maka kita masih memungkinkan ruang untuk tumbuh dan menjadi lebih baik lagi. 

See u, semoga.







Komentar

  1. Mungkin memang kita tidak bisa menilai diri sendiri dengan baik karena apa yang terlalu dekat lebih sulit untuk dilihat. Tapi yakin deh, aslinya ya, aslinya, di belakang kamu tuh, ya kamu dan semua orang yang mungkin baca tulisan ini, kalian itu kerap kali dipuji tanpa sepengetahuan kalian. Entah karena cantik atau tampan, entah karena hal-hal manis seperti sikap kalian yang menyenangkan. Tapi itu nggak dibicarakan langsung di depan kalian. Karena aku pernah membicarakan hal-hal baik tentang orang-orang di sekitarku tanpa ada dia yang mendengarkan. Kapan lalu temanku bilang bahwa temanku terlihat lebih cantik dari yang dulu. Temanku nampak lebih pandai menyesuaikan diri dan berdandan alami, nampak anggun. Namun kami membicarakannya lewat chatting aja, yang dibicarakan nggak tahu. Terus aku juga pernah jadi saksi bahwa teman cowokku ingin mengajak teman cewekku untuk makan di luar walau pada akhirnya nggak terjadi. Aku sangat ingat teman cowokku itu terlihat sangat berseri-seri mukanya saat mengatakannya. Hmmm ya, teman cowokku nggak bilang langsung ke teman cewekku, dia berbicara dengan teman cowoknya dan aku hanya mendengar. Jadi, kita memang bisa merasa insecure. Karena kita memang punya kekurangan. Tapi kekurangan pun juga berkawan dengan kelebihan. Dan kelebihan kita lebih bisa dirasakan orang lain di sekitar kita karena mereka yang merasakannya dari pandangan yang lebih jauh dari kita. Berbeda dari kita yang sulit merasakan diri kita sendiri karena terlalu dekat sampai-sampai butuh kaca yang menjadi perantara
    untuk melihat bagaimana pandangan orang melihat kita. Keep writing, Mus!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah betul banget tuh dibalik semua rasa inferior kita ternyata ada yang memuji sisi lain diri kita. Waduuh terimakasih banget ya komemtarnya amat menghangatkan hatiii <3 semangat!!! Kadang hal-hal kecil dari orang lain bisa menolong kita begitu pula sebaliknya, keep on doing good things :)

      Hapus
  2. Balasan
    1. Siap kaka terimakasi supportnya kakanya juga semangat yaww

      Hapus
  3. Insecure itu memang harus ada, karena tanpa insecure kita tidak bisa memperbaiki dan berkembang dalam suatu alasan

    BalasHapus
  4. Well u got a nice web. Just keep working on it dude, good luck

    BalasHapus

Posting Komentar