Review Novel  Di Tanah Lada: Kisah Masa Kanak Kanak yang Getir dan Tak Ramah Anak 10000/10


Halo! Sudah lama sekali rasanya sejak terakhir kali aku mengisi blog ini dengan tulisan. Padahal kerjaan sehari-hari selama 4 bulan terakhir ini ya menulis puluhan artikel. Kangen sekali. Seperti pulang dari liburan panjang. Adakalanya, liburan memang menyenangkan, namun pelukannya tetap tak bisa mengalahkan kehangatan rumah dalam konteks baik buruk sekalipun. 

Aku memang setiap hari membaca dan menulis, mulai dari hal-hal yang aku sama sekali gagap, hingga sesuatu yang kurasa aku cukup ahli di dalamnya. Namun, ada semacam keresahan untuk menelurkan apa yang ada di benak. Benar-benar mengganjal. Beruntungnya, Gusti maha baik, masih diberinya napas padaku hingga detik ini. Sampai tulisan ini bisa kalian baca. Makasih ya, terimakasih, untuk selalu ada. 

Nah, biarpun intronya tadi agak panjang. Dari babibu hingga blablabla, intinya aku senang sekali hari ini. Sudah cukup lama sejak terakhir kali membaca novel. Pasalnya ini novel yang aku beli April lalu barengan sama Almond yang direkomendasikan Namjoon. Walaupun aku tahunya buku ini dari Twitter di saat kuotaku sudah sakaratul maut dan lemotnya ampun-ampunan buat loading foto. Kala itu aku cuma bisa baca caption dari sender aja, namun rasanya sudah cukup buat bikin aku jatuh cinta. Btw, akun si sender adalah @literarybase, aku biasa dapat info menarik soal dunia perbukuan di sana. 

So if youre kinda interested with these kind of topic, just check it out

Long story short, I feel so in love with this book. Ternyata ini yang namanya cinta pandangan pertama, ternyata benar-benar ada.  Begitu baca komentar netizen yang bilang kalau buku ini adalah contoh bahwa tindak-tanduk orang tua selalu membentuk bagaimana seorang anak tumbuh, menyikapi, dan memandang kehidupan. Beberapa bilang buku ini menyuguhkan kepahitan yang seharusnya tak boleh dikecap anak-anak sekecil itu. 

Penasaran dong? Penasaranlah masa, se dark apakah novel tentang anak-anak ini. Awalnya mau langsung check out di oren, tapi gak jadi karena, gak tahu. Tiba-tiba di suatu sore pada 25 April, tiada angin tiada hujan. Hari juga biasa saja kala itu. Tanpa peringatan hati bilang untuk ke Gramed segera. Perintah itu bahkan dibekali tanda seru tiga dengan huruf balok. Urgent banget kan. 

Secara sangat impulsif dan ada di rak paling atas, buku ini langsung menyita perhatianku. Dengan sampul kuning cerahnya yang sangat ceria itu. Akhirnya, aku beli deh. 

Memang yang paling susah dari membeli buku itu bukan belinya, tapi niat buat bacanya. Nganggur selama beberapa bulan. Di Tanah Lada baru aku sentuh di Bulan Juni ini dan langsung kuhabisi sekaligus. 

Review Novel Di Tanah Lada 

Ceritanya yang dibawakan dengan ringan namun terasa dark bikin kepincut.  Di awal-awal bacanya aku sedikit merasa, "Kok begini ya pembawaannya?" 

Mungkin kalau kalian juga baca novel ini kalian pasti ngerti maksudku. Jadi, si Ava-karakter utama alias si tokoh aku di novel ini mengarahkan kita untuk memasuki dunianya dengan cara yang unik. Setiap kalimat yang tertulis terasa seperti lanturan. Iya, ngomong yang ngelantur. Omongan kesana kemari. Bisa di sana terus di sini, tidak tahu arahnya. Karena tidak terarah, seperti yang kulakukan sekarang. 

Di sini dia banyak menjelaskan kata-kata sederhana yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan KBBI. Sebenarnya aku sering skip bagian ini sih, tapi lama-lama sayang juga jadi aku lahap saja, deh. Cara bicaranya terbilang formal dan baku banget untuk anak umur 6 tahun dia tahu banyak kata yang kayaknya jarang anak umur segitu tahu. Dia pintar berbahasa Indonesia. 

Namun, ia memiliki sebuah persepsi menyedihkan tentang keberadaan seorang papa. Baginya papa itu seperti hantu dan jahat mirip setan. Dan memang benar begitu untuk kasusnya. Suatu ketika ia harus pindah ke tempat yang kumuh dan sangat tidak layak huni di sisi Jakarta. Di sana ia ketemu sosok yang bakal mengguncang dunianya, si P. Bocah laki-laki tanpa nama yang juga mengalami kepahitan dunia. 

Memang benar review netizen yang kubaca di Twitter mengenai novel yang satu ini. Pasalnya bukan cuma menyentuh, ceriranya bikin kita yang baca jadi sesal napas. Sedih sekali mengetahui hal seperti ini harus terjadi ke anak-anak malang itu yang sebenarnya tak memiliki kesalahan apapun. Mereka tak harus menanggung beban seperti itu. 

Bagian paling nyesek menurutku adalah mereka menganggap bahwa apa yang menimpa mereka itu, dialami oleh seluruh dunia. Papa yang jahat, adalah kebenaran mutlak. Sedih banget mereka tak bisa melihat perbedaan yang mampu bikin mereka juga bahagia di luar sana. Mereka dipaksa untuk melihat hal-hal kelam ini dengan wajar. 

Baik P maupun si tokoh aku, membicarakan kebahagiaan dengan frasa kehidupan selanjutnya. Yang kalau ditilik, ini tuh sedih banget. Mereka seolah menyerah dengan hidupnya sekarang dan memilih menjadi telur atau garam dan lada di masa yang akan datang apapun asal bukan manusia. So sad right? 

Aku gak mau spoiler kalau kubahas lebih jauh lagi. I really hope you guys read it. 100000/10 from me.

Komentar

  1. suatu tulisan pengantar buat bobok

    BalasHapus
  2. Siap bos, enjoy😉

    BalasHapus
  3. Coba tambahkan follower, biar bisa berlangganan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Gimana itu bang gaptek banget aku

      Hapus
    2. Ke Menu tata letak, terus tambahkan gadget nanti ada pop-up, lalu pilih pengikut

      Hapus
    3. Wah terimakasih bang sangat membantu nih

      Hapus

Posting Komentar