Perempuan

Kemarin akhirnya kepikiran untuk mempergunakan fitur Question Box di Instagram, menanyakan apa yang ada di benak orang-orang ketika mendengar kata perempuan. Jawabannya beragam. Dari 129 orang yang menyaksikan, empat dari mereka mengisi kolom jawaban dengan amat berbeda. Ada yang bilang perempuan adalah segalanya, puan, gender selain laki-laki, dan salah seorang mengatakan bahwa perempuan identik dengan pekerjaan rumah.


Well, kalau bicara soal perempuan, apalagi ya yang terlintas dalam pikiran selain kata-kata di atas? Mungkin ibu, atau mungkin sosok yang mendampingi lelaki. Perempuan. Apakah ia sosok yang melahirkan peradaban dari rahimnya? Atau ia yang menumbuhkan manusia dalam dirinya dan membesarkannya dengan segala cara? Apakah perempuan sama dengan ibu? Bagiku, tidak. Menjadi ibu adalah pilihan. Sedangkan perempuan ya, perempuan aja. It could be a choice too, actually. 

Tulisan ini mungkin akan menimbulkan pro dan kontra serta tidak asique buat dibaca. But keep in mind, ini adalah berdasarkan apa yang aku alami, tanpa didasarkan riset mendalam. Jika ada kesalahan dan kalian tahu faktanya, please correct me. Kalau bahasa kerennya sih CMIIW ;)) so lets go dive in...

Banyak yang bilang kalau perempuan di dominasi oleh perasaan sedangkan lelaki menggunakan logika. The classic one, men are from mars, women are from venus. Penilaian semacam itu muncul karena kaum perempuan mengambil keputusan terhadap suatu hal berdasarkan pertimbangan atas apa yang mereka rasa, sehingga dinilai kurang efektif dan tak rasional. Oke deh apa di sini mungkin banyak yang lupa bahwa perasaan dan logika bukan hal yang selayaknya dipisahkan. Bagiku, akal sehat dibangun oleh perasaan dan logika yang berjalan beriringan. Mereka tak terpisahkan loh sebenarnya. Karena kalau dipikir, asal dari perasaan pun sama, dari otak juga. Bukan dari usus yang emang punya otak sendiri dan bikin kita pengen makan ini-itu. 

Keputusan yang rasional tidak bisa dipisahkan berdasarkan gender. Toh meskipun mungkin ada pola perbedaan pikiran dalam pengambilan keputusan, kenapa perempuan seolah lebih perasa daripada lelaki adalah justru karena kami menggunakan logika juga. Logika yang berjalan sendiri hanya akan menghasilkan keputusan yang antipati. Mungkin agak egois dan diktator, ketat juga mengekang. Sedangkan hal seperti ini bukannya sudah tidak relevan di jaman sekarang? Bagaimanapun manusia kan makhluk perasa ya, dan itu yang membedakan kita dari ciptaan Gusti yang lainnya. Perasaan membuat manusia lebih peka dan itu manusiawi. 

Ada sebuah karya seni yang aku sangat suka dari salah seorang seniman romantisme Spanyol, yang dimana karyanya amat menggambarkan betapa akal sehat (logika dan perasaan) tak bisa dipisahkan dalam pengambilan keputusan manusia, dialah Francisco Goya dalam kumpulan karyanya Los Caprichos nomor 43 yang berjudul The Sleep of Reasons Produces Monsters (Tidurnya Akal Sehat Melahirkan Monster). Di sana tampak manusia yang terlelap di meja kerjanya. Yang mana manusia menjadi simbolisme akal sehat. Dan yang terjadi ketika akal sehat memilih untuk beristirahat adalah terciptanya monster. 


Tumbuh sebagai seorang perempuan acap kali menjadi beban berat di pundak. Aku merasa perempuan tak ubahnya sebagai kaum kedua, yang seringkali diobjektifikasikan oleh masyarakat. Widih, ngeri bos, apa tuh maksudnya? Gini deh, sederhananya perempuan dianggap tidak mampu untuk melakukan banyak hal karena ia perempuan. Dan sudah selayaknya sebagai perempuan kami harus dibimbing dan patuh. Bayangin deh, lucu gak sih. Siapa pula yang bisa memilih ia dilahirkan ke dunia dalam bentuk seperti apa, bukankah hal seperti itu di luar kuasa kita. Hanya karena terlahir sebagai perempuan, apa yang membuat kami lantas layak diperlakukan sebagai objek. 

Belakangan ramai isu soal poligami yang diliput oleh Vice Indonesia. Narasumber mengatakan bahwa tujuannya berpoligami adalah untuk menjauhkan dirinya dari dosa ketika ingin menyalurkan hasrat seksual kepada perempuan. Nah, dari sini kelihatan dong tidak beresnya dimana. Ya masa menikah dengan perempuan cuma agar bisa enak-enak sama perempuan selain istrinya dan tidak dianggap berzina. Like come on dude. Bahkan ijin perempuan pun tidak dipikirkan lagi. 

Perempuan dianggap sebagai barang kepemilikan yang kalau sudah di dapatkan ya berhak diapa-apakan. Perempuan selalu harus cantik. Makin cantik makin ia memiliki kemudahan. Apakah betul makin mudah? Tidak, belum tentu. Mungkin karirnya cepat naik, mungkin akan dapat suami kaya, mungkin punya banyak teman. Tapi cantik itu luka. Dibalik itu siapa yang tahu ia harus menangis setiap malam dealing dengan bosnya yang genit atau suami posesif yang mengekangnya dalam banyak hal. Tertekan soal bagaimana penampilannya. Mikir berkali-kfli sebelum menyuapkan makanan ke dalam diri. Berpakaian begini, harus dandan dan segala tetek bengek yang cuma dimengerti sama perempuan bahwa betapa melelahkannya semua itu. Belum lagi kalau di suruh ini-itu termasuk melayani hal yang sebenarnya ia tidak mau. Adanya toxic masculinity membuat perempuan makin jadi objek. 

Aku bingung sih, kenapa aksi feminisme masih sering mendapat sorotan negatif bahkan banyak yang datang juga dari kalangan perempuan. Patriarki yang mendarah daging di masyarakat mungkin adalah salah satu penyebabnya yang ujung-ujungnya bikin para perempuan jadi kayak stockholm sindrome. Banyak sekali yang menyalahartikan feminisme. Ada yang bilang kalau feminisme diterapkan berarti lelaki boleh main fisik sama perempuan. Asli dangkal banget pikirannya yang ngomong begitu.

Hidup sebagai perempuan membuatku seringkali merasa tidak aman. Di segala macam keadaan kami amat rentan. Pulang kerja malam, hati nggak tenang. Apalagi kalau lewat daerah yang sepi. Gini deh, mungkin itu bukan masalah perempuan aja ya. Oke, sekarang dari contoh kecil aja. Cat calling. Iya, aksi ngegodain perempuan yang lewat, umunya dengan siulan, panggilan, atau apalah yang pokoknya annoying banget. Pernah gak sih para oknum itu mikir, gimana perasaan kami yang dibegitukan? Apakah mereka pernah ada dalam keadaan itu? Sebenarnya kalian para lelaki tuh bisa loh, gak akan mati kok kalau enggak nge genitin perempuan. Serius deh. Malah ya lelaki yang menghargai perempuan will looks more attractive.

Kami perempuan, memiliki standar sendiri dalam perilaku dan penampilan. Seorang perempuan akan dianggap ideal jika cantik, lemah lembut, dan sopan. Kalau ada yang agak keluar dari kriteria itu bakal diomongin habis-habisan. Kenapa? Padahal tiap-tiap manusia itu berbeda. Isi kepala dan lingkungan tumbuh berbeda. Beban hidup dan kepahitan apa yang pernah menumbuhkan perempuan tentunya berbeda. Dari latar belakang itu saja, apakah masuk akal menyamaratakan standar perempuan harus bagaimana? 

Postingan instagram di atas seolah mewakilkan salah satu keresahanku dalam menjadi perempuan. Bahkan area privasi seperti soal pernikahan aja kerap dijadikan bahan gibahan. Belum lagi kalau menikah sudah lama tidak kunjung dianugerahi keturunan, siapa yang bakal lebih dipandang miring? Perempuan. Gak tahu ya, budaya nyiyir seperti sudah mendarah daging. Serius deh, kbl kbl kbl, kesel banget looh.

Belum lagi soal pelecehan seksual. Selain harus menanggung traumanya, perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual kerap kali hidup dengan stigma buruk dari masyarakat yang kebanyakan lebih mengkritisi bagaimana pakaian korban dan perilakunya daripada berfokus pada kebejatan dan hilangnya nurani si pelaku. 

Banyak pilihan yang tak bisa diambil karena kami perempuan. Termasuk kesempatan kerja bahkan pendapatan. Seringkali terdengar di lingkungan kerja kalau ada perempuan yang naik jabatan bakal ada isu bahwa ia dekat dengan bosnya atau kalau gak itu maka pasti karena wajahnya yang cantik, bukan karena kerja keras. 

Tentu saja hal seperti ini tidak cuma kejadian di Indonesia. Di luar negeri pun masih banyak kasus seperti ini. Sebagai perempuan aku ingin kita saling bergandengan tangan dan mendukung satu sama lain. Bukan saling menjatuhkan. Jika ada pelecehan seksual yang terjadi pada orang yang kita kenal mari beri dukungan moral terhadap penyintas. Perempuan itu kuat dan kita bisa mandiri loh. Kita mampu kok. 


Patriarki ibarat parasit dalam inang, sudah mendarah daging dan bukan perkara mudah untuk menumpasnya. Hanya saja bukan tidak mungkin kalau suatu saat nanti perempuan dapat hidup lebih aman dan lebih memiliki banyak pilihan. Segala kemajuan dan keterbukaan ini sudah selayaknya menjadi media untuk berjuang. 

Untuk manusia di luar sana yang tidak memperlakukan perempuan sebagai objek dan menghargai mereka, you doing such a good job. Mungkin masih banyak yang belum tahu bahwa selama ini perempuan mengalami banyak kesulitan karena gender mereka. I hope you can help us surviving this, dengan tidak menjadi bodo amat dan lebih peduli.

Kayaknya gitu aja sih. 

See u again, semoga. 


Komentar

Posting Komentar