Lelaku

Pertama dengar Nadin Amizah punya album terbaru rasanya senang sekali, seperti menimang keponakan yang baru lahir setelah melihat bagaimana si ibu berjuang selama ini. Aneh, aku bukan siapa-siapanya, tapi selalu begitu rasanya kalau suka sesuatu. Dan boom albumnya yang ini, si kalah bertaruh emang asli pemenang di hatiku. Apalagi lagu Menangis di jalan pulang yang seketika selalu jadi backsound di kepala waktu lagi naik motor sepulang kerja. Relate but sad in a good way. Di sini ada tidak sih yang suka begitu juga? Seolah merangkai fake scenario di otak dengan lagu sebagai media stimulasinya? Kalau aku memang sering. Pikiran selalu melayang kalau lagi naik motor.

Tulisan ini seharusnya menjadi artikel terakhir di tahun 2021, tapi karena satu dan lain hal baru diselesaikan sekarang. 2021, tahun yang buatku, kalau bisa digambarkan dengan kata, maka kata yang aku pilih adalah belajar dan bekerja. Karena di 2021 aku belajar banyak sekali hal sekaligus bekerja keras, tidak sampai banting tulang, tapi cukup untuk membuat pikiran jadi super penat. Pada akhirnya di balik segala beban berat yang dibawa sama tahun ini terlepas dari itu semua ternyata banyak sekali hal yang tidak aku tahu di dunia. Bersyukur sekali masih diberi kesempatan sama Gusti untuk bisa merasakannya. Tahun ini aku merasa ditempa banget sama kehidupan.

Diantara semua kegundahan yang dianugerahkan 2021 kepadaku, ada satu concerns yang menetap di kepalaku, yaitu soal kerjaan. Kalau dikalkulasi presentasenya, bisa dibilang kerjaan memenuhi pikiranku sebanyak 75%. Sebelum membahas itu lebih jauh, apa kalian sudah cukup familiar dengan 925? Bukan, bukan lagunya Ardhito Pramono, tapi soal kerjaan nine to five. Yah tapi memang lagunya menceritakan kegelisahan seorang lelaki yang bekerja nine to five pada kekasihnya.

I dont know where to find you everyday 
I'm working hard from nine to five
Been waiting for that promotion you said
But its been years and I'm hanging on subside


Kerja, gaji, dan passion membara di dalam kepalaku sepanjang 2021. Pasalnya, selama ini aku ngerasanya kerja apapun asal halal ya sah-sah aja. Tapi ternyata, pada kenyataannya aku dihadapkan pada sebuah pilihan yang sama-sama memiliki risiko dan konsekuensinya sendiri. Dan keduanya sama-sama berpengaruh penting untuk hidupku. 

Sebagai seorang warga negara yang hidup di kota kecil Jawa Timur, dimana UMKnya tidak begitu besar dikarenakan biaya hidup yang terbilang cukup murah, aku merasa standar gaji UMK yang segitu ya bisa dibilang cukup untuk seorang membiayai diri dan keluarganya. Begitu pikirku ketika masih sekolah dulu. Cukup besar sebenarnya menurut pemikiran remajaku. Tapi tentu saja, realitanya tak seperti itu. Mungkin kalau dijamannya Bapak Soeharto uang segitu bisa buat beli tanah deh. Eh, 

Setelah kurang lebih setahun terjun jadi budak korporat pola-polanya mulai dapat kulihat. Meski ada ketetapan UMK, faktanya lebih dari 50% warga yang bekerja mendapatkan gaji jauh dari standar itu. Sebagian hanya 50% dari UMK dan sisanya lebih rendah dari itu. Walaupun yang pendapatan perbulannya lebih dari UMK juga banyak, lebih banyak lagi yang selalu kekurangan tiap harinya. Persoalan ekonomi memang memusingkan, namun itu adalah hal yang kita hirup setiap harinya untuk tetap hidup. Rancu, tapi harus terus berputar. Betul kata Teteh Ariana Grande di salah satu lagunya yang berjudul 7 Rings Whoever said money can't solve your problems Must not have had enough money to solve 'em Uang memang kenikmatan yang bikin resah dan kerja adalah cara paling rasional yang dilakukan banyak orang untuk memperolehnya.


Tapi, tapi, tapi, kerja ternyata bukan cuma tentang uang. Semua hal tentang pekerjaan bisa mempengaruhi kita. Selain gaji, lingkungan kerja merupakan hal superior yang akan memegang nasib kita. Waktu itu pernah seorang rekan kerja memposting suatu video di story WhatsApp nya, kira-kira begini, "Tidak semua orang di tempat kerjamu itu teman, jadi kerja, ambil gajimu, pulang." Padahal kerjaannya ngopi duluan sebelum balik, sering pula. Namun, kita tidak di sini untuk nyinyirin kolegaku yang satu itu. Dari kasus tadi kita kurang lebih bisa menyimpulkanlah ya, kalau budaya kepalsuan itu menyelimuti lingkungan kerja dengan hangat, at least in my work place


Sedikit cerita, aku kerja begitu lulus SMA langsung ketika dapat ijazah. Masih bener-bener newbie straight no debat, polos banget. 
Kalau gak salah hari pertama aku kerja itu tanggal 10 Desember 2020. Hari itu aku datang ke tempat kerja pertamaku sebuah retail fashion besar yang mempunyai lebih dari 80 cabang di seluruh Indonesia meski gaungnya kurang familiar di telingaku. Datang dua jam lebih lambat daripada yang lain karena aku dihubungi adminnya untuk hadir pukul dua belas siang itu dan baru tahu kalau yang lain datang jam sembilan. Kenapa? Karena aku daftarnya telat. Setelah yang lain selesai training aku baru datang. 

Ingat jelas, hari itu aku datang memakai pakaian terbaikku dengan jilbab hitam kesayangan dan sepatu pemberian mbak ponaaan. Bayangin aja sih jam dua belas siang bro. Kalau orang Jawa sih bilangnya panas kenthang-kenthang alias panas banget. Aku berusaha secepat mungkin agar jam sebelas sudah hadir di lokasi. Aku yang sama sekali gak tahu apa-apa karena gak ikut sesi training, gak ada temen, bocil baru lulus sekolah, pertama kerja, datang ke tempat itu sendirian di siang super terik ke jalan yang menjadi pusat ekonomi juga detak jantung kota super ramai. Sesampainya di sana, aku kaget. Kok tokonya tutup. Aku nungguin di trotoar depan toko. Di tempat dimana kendaraan terparkir. Mau menghubungi adminnya aku lupa, kalau kuotaku internet habis. Sumpah deh kesel banget. Akhirnya aku pasrah aja. 

Setelah menunggu berapa lama aku memberanikan diri bertanya pada bapak-bapak tukang parkir yang ternyata baik banget orangnya. Bapaknya ngejelasin, toko ini baru mau buka tanggal 19 Desember, yang mana aku baru tahu juga. Aku bertanya pada bapaknya apa tidak ada tanda-tanda ada karyawan yang masuk. Aku membaca ulang chat dengan si admin. Mengulang tiap kalimat siapa tau ada yang salah kubaca atau salah mengerti. Tapi tidak, betul hari ini kok. Aku merutuki kebodohanku yang tidak beli kuota dan tak tahu harus berbuat apa. Maklum ya masih bocil, otaknya belum jadi dan uang juga kaga ada. Si bapak parkir yang baik banget cerita, beliau bilang, tepat kemarin, ada banyak orang berpakaian hitam putih datang. Sepertinya interview. Orangnya cukup banyak. Datang siang, selesainya sore. 

Berbekal info itu aku yakin dan menetapkan niatku menunggu di depan toko. Setelah kurang lebih satu jam menunggu ditemani oleh keresahan hati, akhirnya kulihat beberapa orang berjalan memasuki toko yang terlihat tutup itu. Seketika ku hampiri mereka penuh semangat. Apakah penantian ini akhirnya usai?  "Permisi mbak, ini saya baru pertama kali masuk kerja tadi disuruh masuk jam 12." ucapku sebelum perempuan yang membawa beberapa barang di tangannya itu menutup pintu toko. Jujur, ia sangat cantik meski wajahnya agak kurang bersahabat karena dibalik masker medis birunya alisnya berkerut. Ia lalu memanggil rekan kerjanya, yang kemudian kukenal sebagai salah satu supervisor di situ.

 "Pak! Ini nih anak baru nih."

"Oh kamu ya. Sini-sini tunggu sini dulu ya, yang lainnya masih istirahat. Bawa makan nggak? Makan dulu."

"Tadi sudah makan pak di rumah." Jawabku meski sebenarnya lapar.

Hari itu sumpah demi apapun adalah hari paling super duper triple melelahkan dalam hidupku. Maksudku, aku bahkan tidak bekerja full tapi segalanya yang ada di sana adalah hal baru. Melelahkan sekali untuk beradabtasi. Menyapu tempat seluas itu, mengunboxing gawang pakaian, mengelapnya, memindahkannya, merakit manekin, ya ampun. Meski begitu, survive adalah satu-satunya hal yang bisa aku lakukan. So I keep on doing it. Betul kata orang hari-hari pertama kerja adalah yang paling melelahkan. Tapi setelah hari adabtasi yang menguras energi itu, segalanya berangsur baik. 

pict diambil di gudang pada jam istirahat. Gatau kenapa tiduran di gudang enak banget. Jauh lebih enak daripada kasur dan ac di ruang istirahat yang sudah disediakan. 

Bekerja di sana menjadi sebuah rutinitas yang rasanya melekat. Masa-masa terbaikku adalah pada bulan ketiga. Bertemu teman sefrekuensi makin memudahkan segalanya. Banyak hal baik terjadi. Tapi tentu saja tetap ada halangan. Aku ingat sekali pada Bulan Juni 2021 desas-desus adanya PPKM tersebar dikalangan kami. Dan benar saja kali itu 2 Juli 2021 PPKM dilaksanakan. Tentu saja tempat kerjaku tutup. 

Tak tahu sampai kapan PPKM akan diperpanjang aku pun memutuskan mencari kerjaan sampingan dekat rumah sama sohib. Eh nemu dan gilanya langsung diterima. Di sebuah mini resto yang lumayan terkenal di kotaku. Senang sekali aku kerja di situ. Ada banyak pengalaman. Bisa makan apa aja. Lingkungan kerjanya lebih santai dan semuanya anak muda kecuali bosnya. Belakangan aku tahu ternyata resto tempatku kerja itu kemitraan. Jadi bosnya beda dengan bos pusat. 

 
Sembari kerja di resto aku memikirkan kerjaku di retail. Apakah akan terus begini sementara PPKM sudah dilonggarkan? Isu-isu retail sudah buka namun hanya staff dan karyawan tertentu saja yang masuk mengusikku. Akhirnya per September 2021 aku resmi mengundurkan diri. 

Kukira aku mengambil keputusan yang tepat. Karena selama bekerja di retail pun ada saja hal yang mengganjal meski tak bisa ditampik bahaa semua pekerjaan pun begitu. Namun lama kelamaan bekerja di resto ini melibatkan hal yang menurutku tak seharusnya dilakukan oleh pegawai tapi kami harus mengerjakannya dan acap kali jam kerja kami gak ngotak. Tapi bekerja di resto itu adalah salah satu hal terbaik yang pernah kulakukan. Aku merasa bangga. 

Kini aku sedang menikmati hidup menjadi sampah masyarakat. Mengisi kembali hal-hal yang sempat kosong dan kutinggalkan. Perlahan, ingin memeliharanya lagi. Seperti blog ini, channel youtube, dan akun instagram untuk karya gambarku. Menurutku pengangguran tak selalu meresahkan umat. Bukankah sejatinya semua manusia perlu berhenti sejenak, untuk bernapas, merasakan anugerah yang kuasa dan bersyukur. Biarpun kebutuhan terus berjalan, jangan hanya mengisi perut, isi juga ruh. Karena pada akhirnya, kamu tu ya hanya punya kamu.

Sekian, see u next time, semoga


Komentar

  1. Aw aw aw kita memang punya ruh ya, sampe lupa kalau aku punya jiwa bukan raga aja yang harus diisi makanan

    BalasHapus

Posting Komentar