Film dan Sejejak Memori yang Tak Bisa Dilupakan


Kali ini kita bakalan membahas mengenai film atau apapun yang berupa visual bergerak yang memiliki cerita. Tapi sebelum itu diriku hendak mencurahkan sebuah isi hati lantaran suatu kejadian yang bikin kesal dan gemas tapi sadar ini kesalahan aku sendiri jadi ya aku meneng doang. 

Sejak kemarin aku sudah menulis ini tapi waktu filenya dipindahin ke laptop aku menyelesaikannya pakai notepad bukan yang versi plus atau sublime yang biasa kupakai. Karena sudah merasa cukup aku langsung shutdown berhubung kemarin menyelesaikannya barengan sambil kerjaan kantor jadinya ya ingin segera tutup laptop. 

Eh lhadalah waktu aku buka lagi hari ini, doi sudah gone. Tapi ya apa hendak di kata bukan? Memang yang namanya manusia, biasa apa sih tanpa kesalahan dan khilaf. Meskipun agak kesal, tapi biar tidak terlalu bosan aku tidak akan menuliskan hal yang sama dengan kemarin tapi intinya mirip-mirip seperti saudara kembar. 

Mari kita petik hikmahnya sejenak tapi tak perlu sampai mengheningkan cipta. Oke, saatnya masuk ke pembahasan utama yang sudah bikin aku ngos-ngosan ini. Sekedar mengingatkan, tulisan ini sedikit lebih panjang dari unggahan sebelumnya, jadi kamu tak perlu langsung melahapnya habis, pelan-pelan saja kalau kata kotak. 

Sebuah Film Sebuah Kenangan


Siapa sih yang tidak suka nonton film? Ya mungkin ada, pasti ada. Tapi aku suka dan teman-temanku juga begitu, jadi kuanggap saja kamu juga suka. Aku biasa menanamkan dalam benak kalau film ini bisa disebut sebagai sebuah rekam jejak kisah manusia yang entah pernah terjadi atau tidak pernah sama sekali seperti karya sastra lainnya.

Tak heran film punya posisi tersendiri di hati setiap orang. Sebuah film lama yang pernah ditonton dan membekas di benak, pasti punya jejak tersendiri yang membawa kembali ingatan kecil yang sebenarnya mungkin sangat kita butuhkan di saat tertentu. Sederhananya manusia butuh sebuah stimulasi buat memanggil kembali memori yang tersimpan. 

Katanya, manusia tak pernah melupakan sesuatu. Ini katanya loh ya, aku belum riset, lagi malas.  Meskipun aku sering lupa juga karena kebanyakan... Tapi, katanya lagi, otak memiliki jutaan sel yang menjelma jadi hardisk mega besar dengan kapasitas tak terbatas, hanya saja jutaan ton ingatan itu tenggelam di palung yang amat dalam, satu letupan hal yang berkesinambungan bisa memanggilnya dari dalam gelap menuju permukaan. Bisa jadi kita lupa namun simpanan kejadian itu tak pernah benar-benar hilang dari dalam diri kita.

Sudah bertahun-tahun lalu tapi aku ingat sekali bahwa keluargaku menjadikan tv sebagai sebuah sarana bercengkerama. Di depan benda persegi paling hebat pada masanya itu, kami banyak berbagi beragam hal mulai dari rasa masakan ibu yang lebih enak dari biasanya, berita tentang tetangga samping rumah yang lagi-lagi dikejar debt collector sampai kasus perceraian artis dan episode baru Naruto di perang dunia ninja kedua yang tak pernah ditayangkan atau yang paling kubenci adalah obrolan peringkatku di sekolah.

Aku masih ingat dengan baik bagaimana aku dulu memiliki beberapa kanal tv favorit diantaranya adalah Net TV, Global TV, Trans TV, Trans 7, dan ANTV yang masing-masing berhasil memikatku dengan kontennya yang beragam mulai dari acara musik sampai drama India yang bikin nangis bombay. 

Aku dan Film-Film 


Sejak kecil aku terbiasa menonton sesuatu saat waktu luang alhasil kebiasaan ini terbawa hingga beranjak dewasa. Film menjelma jadi sebuah sarana hiburan yang super gampang buat diakses terlebih dengan teknologi sekarang. Untungnya, sejak SD teman-temanku pun pada suka nonton film juga. 

Namun dari semua perjalanan malang melintang eksplorasi film yang seru, liar dan mentah itu yang paling membekas di ingatanku adalah masa SMP. Dimana kala itu kancah penelusuran film terpaku pada hollywood.

Franchise horor supranatural sejenis Insidious dan the Conjuring tengah bergelora serta merekah-rekah kala itu. Aku sebenarnya anaknya nih mental tempe dan cemen banget. Tapi kalau sedang bersama teman seringkali lupa hal-hal apa yang sebaiknya aku lakukan atau tidak lakukan.

Dalam hal menonton film ini juga begitu. Walau malamnya tak berani ke kamar mandi sendiri dan tidur membelakangi tembok pakai selimut sambil menahan gerah yang membara, besoknya kalau diajak nonton film horor sama teman ya tetap iya-iya aja. 

Tapi aku juga sadar, kalau tidak barengan begitu aku maungkin tidak akan menonton film horor sama sekali dan ketinggalan bahan cerita sama teman-teman lalu jadi tidak bisa keep up. Yang mana tentu itu merupakan sebuah kehancuran fatal untuk aku di tahun 2014, remaja penuh keinginan untuk divalidasi kala itu.

Jujur, horor jadi genre yang paling jarang aku jamah. Dari sedikitnya film horor yang pernah kutonton, the Conjuring 2 jadi judul favoritku. Kenapa? Apa karena tidak seram? Tentu bukan, buatku film itu sangatlah seram. Hingga kini pun aku masih bisa merasakan teror si biarawati yang satu itu. 

Aku bahkan masih ingat dengan jelas alur ceritanya dan beberapa dialog yang diucapkan si tokoh. Nonton di bulan April, hingga Juli aku masih terbayang-bayang bahkan sampai sekarang. Tapi ada pesona yang menarik aku di film the Conjuring 2 ini.

Jika biasanya film genre ini membanjiri dengan jumpscare bak wahana rumah horor, the Conjuring 2 juga, namun bukan yang mendominasi. Cerita yang dihadirkan membuatku jatuh cinta. Penggambaran ceritanya mengakar dan premis yang kuat buat para karakter yang bikin mereka mau tidak mau harus menghadapi problem ini.

Terlebih di samping cerita horor, film ini juga menghadirkan sedikit sentuhan romansa yang pas, manis, dan terasa esensial antara si pasangan peramal. Alhasil tak sulit buat menempatkan film ini jadi cinta pertamaku dalam genre horor.

Kala itu biasanya aku dan teman-teman menghabiskan waktu jam kosong dan diantara pergantian mata pelajaran satu dengan yang lainnya untuk menonton film. Biasanya kita akan berkumpul di bangku salah seorang teman yang laptopnya sudah jadi langganan nobar.

Di lain kesempatan sekelas kompak nonton film di proyektor. Seingatku itu waktu kelas 9 SMP. Beberapa anak lelaki berjaga di pintu kelas dan jendela yang gordennya tertutup buat memantau pergerakan para pengajar sehingga kalau mereka tiba, kami nampak siap menerima pelajaran tanpa ada sesuatu yang janggal karena nonton di LCD cukup dilarang pada masa itu.

We have to be smart. Gotta play safe no face no case right? Selain film horor yang bikin kebayang banget itu, aku juga paling suka dengan film Thailand yang berjudul May Who. Dari yang bisa kuingat, seorang teman memutarnya sebanyak tiga kali dan aku tetap menyimaknya dengan tenang seolah tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Sumpah film ini lucu banget, kalian wajib nonton.

Misi 100 Film Dalam Setahun


Di kerjaanku yang sekarang ini, aku punya cukup waktu yang bisa kugunakan buat menyenangkan diri sendiri salah satu caranya adalah nonton film. Dimulai sejak Februari tahun 2022 lalu aku mulai mencatat film apa saja yang sudah aku tonton di note ponsel. Tak melulu film, anime, serial, drama, dan semuanya aku juga masukkan di situ, kecuali video youtube dan TikTok. 

Walaupun pada mulanya 100 terasa sangat jauh dan sulit digapai terlebih tahun kemarin drama Koreanya bagus-bagus banget, 16 episode cuma bisa ngisi satu angka di daftarku tapi ternyata aku bisa menyelesaikan 104.

Tahun ini aku sudah menonton 35 film. Ada banyak judul-judul seru yang bikin aku makin jatuh cinta. Beruntungnya lagi, rekan kerjaku juga hobi banget sama film. Dia kerap memberikan aku rekomendasi tontonan yang bagus.

Rasanya memberikan sedikit misi pada diri kita ini bisa jadi langkah kecil buat bikin hidup lebih terasa menarik dan tersusun. Kamu boleh coba. Ngomongin film rasanya tidak pas kalau tidak menyebut film favorit.

Film Favorit 2022

1. Inception

Sebuah terorisme ideologi melalui alam bawah sadar yang ditanamkan pada saat seseorang bermimpi. 

2. The Wolf of Wall Street

Dunia pialang saham Wall Street yang penuh dengan rekayasa dan tipu daya, sebuah pertunjukkan bahwa manusia bisa melebihi batas tabu.

3. Better Days

Dunia yang kejam sebagai taman bermain seorang remaja yang jadi korban perundungan di sekolahnya bersama dengan seorang lelaki miskin yang bersedia mempertaruhkan hidup buat masa depan si gadis.

4. The In Between

Sebuah gambaran bahwa cinta sehidup semati itu tidak ada, tapi cinta yang tulus dari hati bisa menembus dimensi apapun. 

5. Me Before You

Save the best for the last. This is my highly favourite movie. the british accent, the vulnerability, the love, the limit, the acting, the problem, the life. Live boldly.

See you when I see you. 

Komentar