Serba-serbi Muda-mudi

Belakangan perdebatan antara generasi Z dan Baby Boomer bahkan generasi X banyak banget beredar di timeline media sosial terutama dari kanal-kanal media terkemuka. Dalam hal ini aku suka banget ngikutin Tirto. Kita semua pasti punya media bias gak sih? Selain itu, aku suka banget sama Kumparan, Narasi, dan Asumsi. 

Topik yang lagi hangat-hangatnya jadi bahan gunjingan internet adalah perbedaan antar generasi. Banyak yang bilang kalau generasi sekarang ini lemah dan manja. Sebagian mengatakan kalau anak muda itu konsumtif dan banyak menghabiskan untuk hal tidak penting. Tidak tahan banting seperti generasi kakek nenek, atau bahkan tante dan orang tua kita. Dan yang paling lumrah sekaligus favoritku adalah kalimat yang bilang kalau anak sekarang tidak sopan atau segala hal tentang degradasi moral.

Well, memangnya benar begitu ya? Yuk coba crosscheck dulu faktanya. 

Kalau dari Tirto di Newsroom 63B, katanya hal seperti ini memang sudah ada sejak dulu. Jauh sebelum adanya penjajahan Portugis di Indonesia, bahkan dimulai sebelum abad ke 4 yakni pada jamannya Aristoteles. Filsuf super smart ini bahkan pernah bilang bagaimana anak muda bisa begitu percaya diri dengan pengetahuan yang mereka miliki padahal bukan seberapa. 

Sebelum itu pun, budaya untuk memandang rendah atau bahasa kerennya underestimate generasi sesudah kita memang mengakar. Adanya gap yang kentara jadi salah satu faktor yang bikin antar generasi tidak relate satu sama lain. Permasalahan dan tantangan yang dihadapi antar generasi tentu berbeda. Karenanya, agak tidak senonoh kalau membanding-bandingkan sesuatu yang jelas beda banget dari a-znya. 

Kalau kata mbak Taylor Swift dalam Cardigan, when you are young they assume you know nothing. 

Ngomongin soal moral dan perilaku, ada beberapa persona dalam diri manusia. Kita semua memiliki banyak wajah dalam satu tubuh. Pertama, adalah kepribadian yang hanya kita simpan untuk diri sendiri, perangai saat bersama sahabat karib atau orang tersayang, profesionalitas, dan tampang untuk orang asing. Entah bagaimana, tampaknya lingkungan dan genetik membawa pengaruh besar untuk hal ini. 

Lagipula tidak mungkin kita akan menunjukkan wajah yang sama pada setiap orang, karena ya perlakuan mereka pada kita pun berbeda. Jadi ya wajar dong kalau kita bersikap sesuai porsi yang diperlukan saja. Nah, ada satu hal menarik yang bisa dibilang cukup melekat di benak aku soal ini. 

Pernah waktu itu teman SMAku bilang begini. "Ya wajar dong, namanya juga manusia ya pasti datang kalau ada butuhnya. Aku ke kamu pun gitu, kalau gak ada butuhnya ngapain?" 

Mungkin kalau yang ngomong begitu orang asing bakal bikin aku naik pitam. Berhubung ini konco kentel aku jadi paham. Sekalipun teman dekat, kita pasti punya kecenderungan untuk membutuhkan orang tersebut makanya kita dekat dengannya. Entah itu butuh didengar, butuh waktu, atau afeksi. Pada dasarnya memang bergantung bukan hal buruk jika ada saling diantaranya. Kalau cuma satu orang saja yang merasakan benefit, baru itu namanya ngerepotin. Nah, jadi gimana nih kita kan makhluk sosial?

Seiring bertambahnya usia aku sadar, kalau hal-hal yang aku sukai makin berbeda. Makin bertumbuh makin tahu kalau ternyata tidak banyak yang aku tahu. Seiring waktu makin paham bahwa hidup adalah proses belajar yang tak akan pernah usai. Sebuah proses yang hanya akan berhenti ketika kita mati. Karena itu hidup akan terus menempa manusia sejadi-jadinya. 

Dalam proses itu banyak yang gugur. Namun ketimbang kata itu, aku lebih memilih merdeka. Merdeka sebagai ucapan selamat. Selamat telah berhasil menyudahi derita ini selamanya. Selamat dan terimakasih sudah pernah ada. Selamat menikmati sisanya. Selamat berada di tempat baru. Selamat, kisahmu di bumi akan lenyap bersama ragamu. 

Mereka yang memilih untuk merdeka pun begitu. Tak semua orang merasakan rasa sakit dan penderitaan yang sama. Wajar sekali, daya tahan akan hal-hal menyakitkan juga berbeda. Isi kepala berbeda. Lingkungan yang sama sekali tidak sama. Lagi pula kembali ke awal, hidup adalah pilihan. Mengakhiri pun pilihan. 

But in the end, one needs more courage to live than to kill himself. 

Tapi pada akhirnya, butuh lebih banyak keberanian untuk bertahan hidup daripada membunuh diri sendiri. 

Sebuah kutipan amat bermakna dari akun Instagram salah seorang panutanku, Kwon Ji Yong aka. G Dragon Big Bang yang barusan comeback dengan merilis lagu Still Life 5 April 2022 lalu. 

Kita semua belajar dalam hidup. Tidak ada yang benar-benar mahir karena ini adalah hidup pertama kita semua. Merelakan dan mengikhlaskan selamanya adalah teman manusia. Tapi tentu tak semudah itu karena yang pasti dalam hidup adalah, ketidakpastian.

Postingan kali ini hanya akan berisi keluh-kesahku, kalau kamu tipe yang tidak mau mendengar bacotan teman atau jarang mengeluh lebih baik jangan dilanjutkan bacanya. 

Oke mari kita mulai sesi sambat ini, yang panjang diatas tadi cuma intro, iya. 🤭

Ada banyak sekali kegelisahan yang bergumul di dadaku belakangan ini. Resah dan apa ya, semacam pergolakan batin hebat yang didukung segala sesuatu di sekitarku. Semacam puber yang kedua. Kujelasin satu-satu keresahanku, kuharap kamu juga relate, supaya aku tidak merasa sendiri saja. Cari validasi. Mohon pengertiannya ya. 

1. Pendidikan 

Aku tidak tahu bagaimana ya menjelaskannya. Aku juga tidak akan memulai terlalu jauh kebelakang. Namun aku tahu pasti, aku sangat tertarik pada hal yang satu ini. Aku suka sekolah. Aku suka mengerjakan tugas yang bisa membuatku tahu hal-hal baru dan ngangguk sendiri terpuaskan rasa penasarannya. Suka sekali mendengarkan orang bercerita tentang sesuatu yang belum aku tahu yang menurutku menarik tentunya. 

Sejak kecil, aku ingin menempuh pendidikan setinggi-tingginya. Keyakinan itu menumpuk di dada, makin-makin sejak masuk SMA. Dan beruntungnya, rekan sebangkuku itu adalah orang yang sangat amat tahu tentang segala hal soal perkuliahan yang ternyata banyak sekali yang belum aku tahu. Darinya aku banyak belajar. Kami belajar bersama dan berbagi banyak hal. Namun karena satu dan lain hal rupanya mimpi memang bukan sebuah realita. 

Hal yang rasanya mudah dan merupakan sebuah kewajiban dasar itu rasanya agak sulit untukku. Tapi memang bukan hanya keadaan yang berperan, aku juga banyak melakukan kesalahan. Berusaha memaklumi bahwa ini adalah kehidupan pertamaku dan mengikhlaskan semua kesalahan di masa lalu tak membuatku lebih baik rupanya. 

Waktu menyembuhkan luka di hati manusia, tapi bekasnya selalu ada. Yang bisa benar-benar membuat luka itu menjadi pelajaran berharga dan memandangnya sebagai komedi yang patut ditertawakan adalah diri kita sendiri. Maka dari itu, selamanya, kelapangan dada adalah pelajaran buat manusia. Dan aku, masih belum benar-benar lega. 

Ini menjadi faktor yang memperbesar rasa insecure ku di beberapa kesempatan. 

2. Masa depan 

Masih menyangkut poin soal pendidikan. Lulusan SMA di tahun begini. Terus terang, aku tidak begitu merasa percaya diri. Banyak hal yang kulakukan rasanya menguap tanpa sebab dan hilang tanpa jejak karena aku merasa tak layak melakukannya dengan posisi sekarang. 

Ini bukan pembenaran atau semacamnya. Bukan pula memperbesar mentalitas korban yang memang kumiliki, namun masa depan rasanya amat abu-abu. Untuk keluar dari lingkaran yang sudah ada dan mendekap diri rasanya amat sulit. Seperti berlari, namun ujung-ujungnya ya ke titik awal mula. Suck. Fucking suck

Kalaupun masa depan ada untuk orang sepertiku, mungkin itu ya tidak akan jauh-jauh seperti kehidupanku saat ini. Kalau kamu tidak relate dengan masalah ini, good for you. Coba dengarkan Lorde - Royal, tampaknya itu akan membantu sedikit. 

3. Pendapatan dan kepastian karir 

Sebagai seorang lulusan SMA yang tidak pintar-pintar amat dari sekolah yang tak begitu terkenal di salah satu kota kecil di negara berkembang, ada semacam batasan tak kasat mata yang seolah menghambatku untuk berusaha keras meraih langkah maju. Memang betul, jika tidak dicoba maka kita tidak akan tahu. Namun semacam ada bisikan di kepala, kalau mau mencoba bagaimanapun juga akan tetap sama. 

Berjuang sekeras apapun, persaingan dalam hal mencari kerja sangatlah kompetitif. Dan kriteria yang dicari, sudah jelas bukan yang aku sebutkan diatas. Syukur-syukur dapat, daripada menganggur. Selalu akan begitu akhirnya. Terjebak dalam lingkaran roda ekonomi bobrok yang memuakkan. 

Tak jarang, kepala berpikir "Ya sudahlah, hidup begini saja juga tidak apa-apa." Seolah menyerah pada semua hal yang sudah diimpikan jauh-jauh hari karena sebuah ketidakpastian yang pasti terjadi di planet yang satu ini. Alasan klise yang tak patut dibenarkan namun tak bisa ditampik juga bahwa begitulah kenyataannya. 

4. Pernikahan 

Aku sama sekali tidak yakin dengan hal yang satu ini. Jika hidup sudah susah kenapa harus menambah beban dengan mengambil resiko untuk terlibat dalam kehidupan seseorang sepenuhnya sepanjang sisa usia. Untuk apa? Cinta? Apa mencintai harus memiliki? Klise, namun sepertinya tidak begitu. 

Kebanyakan penduduk negara maju tak begitu mementingkan pernikahan. Mungkin mayoritas memikirkan efek dan pengaruh yang akan dibawa peristiwa tersebut pada kehidupan mereka dengan lebih mendalam. Namun di beberapa negara, menikah adalah sebuah tradisi yang harus dilakukan dan semacam formalitas untuk pemenuhan status sosial. Untuk apa? Kembali lagi, hidup adalah sebuah pilihan, kita sendiri yang menentukan.

5. Orang tua 

Semakin aku dewasa, waktu ku juga semakin sedikit. Hal yang sama berlaku untuk orang tuaku. Pohon tempat aku mendapat napas untuk mengijinkan jantungku berdetak. Sulit sekali untuk ditinggalkan mereka. Memang jauh lebih baik aku yang pergi daripada harus menjalani hidup tanpa oksigen. Sudah pasti sesak. Aku punya asma, tidak mau merasakan yang lebih sesak lagi. 

6. Usia 

Selain gulir waktu yang cepat. Beberapa penyesalan terkait usia yang terbuang percuma menimbulkan penyesalan besar di dada yang tak terelakkan. Memang betul 20 masih terhitung muda. Rasanya baru kemarin sekolah dan mengeluhkan pr matematika yang susahnya minta ampun. Katanya masih terlalu muda untuk menyesal. Hal apa yang bisa disesali di umur segitu. Memangnya apa kekhawatiran yang kamu alami? Ketika kita muda bukan berarti kita tak tahu apapun dan tak merasakan apapun. Kita tahu hal yang kita tahu, dan kita pun punya kepekaan untuk merasakan hal-hal tertentu. 

Meremehkan kekhawatiran dan keresahan yang menempel di benak hanya karena usia. Meragukan hal itu hanya karena merasa sudah menjalani hidup di dunia dengan lebih lama dan seolah tahu segalanya, tolong dong. Semua orang memiliki timelinenya masing-masing. Jangan membandingkan dong. Ya masa orang udah down malah dibikin makin down. Empatinya ya. Kalau gak bisa mending diam deh serius. Muda bukan berarti tak tahu apa-apa. Hanya saja, banyak hal yang belum kita tahu. Dan kesedihan adalah perasaan yang wajar. Bukan sesuatu yang hanya bisa dirasakan di usia senja. Setiap usia merasakan kesedihannya masing-masing. 

7. Kesehatan 

Jangankan asuransi. Untuk beli nebulizer saja susah. Inhaler habis. Sirup batuk habis. Obat sesak napas penipis. Mau ke puskesmas dikasihnya akan tetap Amoxcilin dan antrinya masyaAllah apalagi harus kerja. Mana sempat mikir kesehatan kalau hati tak tenang dan dompet kering kerontang. Nontonin Youtube sambil rebahan pun jadi solusi yang paling sering dipilih buat jadi pelarian. Tidak akan meredakan apapun, tapi memang begitulah keadaannya. Sementara ini bergantung saja pada Carbidu dan minyak kayu putih.

8. Kematian 

Hal yang pasti dalam kehidupan setelah ketidakpastian adalah kematian. Sejak ada kelahiran, maka kematian adalah teman yang mengiringi. Setiap insan pasti akan mati. Namun, itulah yang menjadi misteri terbesarnya, kapan, dimana, dan bagaimananya. Ketidakpastian selalu menakutkan dan itulah yang bikin aku ketar-ketir sama perkara yang satu ini. Bagaimana kalau kematian datang saat aku sedang membara dan bersinar terang? Bagaimana kalau ia menjemput saat aku sedang ingin? Lalu apa yang terjadi setelahnya?

Kematian menjadi hal yang berat bukan cuma untuk orang itu sendiri tetapi juga bagi mereka yang ditinggalkan. Akankah media sosial ini membuat jejak kita abadi? Atau nanti ia juga akan ditinggalkan. Lalu suatu saat mungkin akan tiba saatnya dimana media sosial yang kita gunakan sekarang menjadi jejak dari jiwa yang pernah singgah di dunia. Kalau dipikir-pikir berapa banyak manusia yang pernah hidup di dunia ini?

Kalau dihitung dari awal sekali, mungkin tak terhingga ya. Mereka semua juga bergelut dengan masalahnya masing-masing kemudian sirna tanpa jejak. Kita juga akan begitu. Sisi baiknya, tak ada yang kekal, begitu pula masalah dan cobaan. Kebahagiaan pun datang sementara. Akan baik jika kita bisa tidak terlalu sedih saat diuji dan tidak terlalu bahagia saat senang. Tapi pasti sulit.

9. Hidup setelah kematian 

Di agamaku, semua hal yang kita lakukan pada masa kita hidup akan mendapat ganjarannya nanti di akhirat. Entah itu kesalahan atau kebajikan semua akan mendapatkan balasan yang setimpal. Mengingat kesalahanku banyak sekali. Rasanya menakutkan memikirkan hal ini. 

10. Kehidupan sosial

Aku adalah orang yang canggung sekali soal perkara ini. Butuh waktu lama sampai bisa terbuka dan bersosialisasi tanpa merasa canggung. Ada banyak hal yang menyebabkannya. Akn aku uraiakan satu per satu.

Yang pertama aku takut pada respon orang akan hal yang aku bicarakan. Apakah mereka akan menyambut baik? Kalau iya aku harus bagaimana? Kalau tidak, harus apa?

Sekian sesi curcol sambat panjang kali lebar. Semoga bisa bacot lagi di pertemuan selanjutnya. Semoga.


Komentar

  1. pasti lama ya kak ngetiknya , saya mau beini tapi saya malas wkwk

    BalasHapus
    Balasan
    1. lama banget sih tapi seru kok dibikin aja kaya nulis diary biar gak ada pressure, gak harus selesai dalam sekali nulis juga kok

      Hapus

Posting Komentar