Ingatan



"Ngopi, yuk!"

Kalimat yang belakangan sering banget terdengar, sama ramahnya seperti teman lama. Untuk saya yang bukan anak tongkrongan dan tidak hidup di kota besar apalagi megapolitan, ajakan semacam itu tetap sangat familiar. Seiring dengan menjamurnya coffee shop budaya ngopi juga makin bersemi. Tapi yang paling lekat dengan saya dan teman-teman saya secara pribadi ya tidak lain adalah angkringan.

Versi lowkeynya coffee shop yang lebih ramah kantong dan luwes ini memang top markotop. Buka malam di emperan toko yang sudah tutup dengan mengusung konsep lesehan, menghidangkan kopi, teh, susu, dan camilan pendamping beserta makanan sederhana seperti mi instan atau ada juga yang bukanya di halaman rumah atau nyewa tempat dengan konsep lebih proper seperti cafe. Berhubung sekarang lagi PPKM kita ngopinya di rumah saja.

Kalau bicara soal kopi sebenarnya saya punya sejarah yang cukup tidak jelas dengan minuman pahit yang satu ini. Sejak kecil saya sudah terbiasa dengan keberadaan kopi di rumah. Entah bagaimana ceritanya, dulu di halaman rumah saya ada pohon kopi. Seingat saya sejak kecil pohon itu sudah ada di sana sampai ketika saya masuk sekolah menengah pertama. Tapi tidak sekalipun loh pohon kopi satu-satunya keluarga kami itu berbuah. Sampai akhir hayatnya belumlah ia menghasilkan biji kopi sama sekali. Sejauh yang saya ingat sih begitu, kalau daunnya sering saya petik buat main masak-masakan sama tetangga. 

Bapak dan ibu saya itu pecinta kopi. Kayaknya sih mengalir dari darah nenek dan kakek saya. Nenek dari ibu bahkan menyangrai dan menumbuk sendiri biji kopi yang akan diseduhnya. Kesukaannya kopi hitam kental yang tidak terlalu manis. Sejak dulu saya paling suka kalau menyaksikan nenek ketika mengolah biji kopi dan memasak sermier. Entah kenapa semacam satisfying

Saya suka aroma kopi meski baru mencicip rasa minuman itu ketika saya sekolah menengah pertama. Sebelum itu saya sama sekali tidak dibolehkan sama bapak ibu saya. Biar pun pencinta kopi mereka cukup strict soal batasan-batasan apa yang boleh dan tidak boleh buat anaknya. Awalnya sih saya tidak suka kopi karena menurut saya rasanya aneh. Pahit. Tapi lama-lama saya minum berhubung dibikinin sama ibu tiap pagi sebelum berangkat sekolah karena saya selalu tidak pernah tidak mengantuk, kopi jadi salah satu amunisi garda depan. Berawal dari biasa lama-lama suka. Benar kata Orang Jawa, witing tresno jalaran saka kulina. Seiring berjalannya waktu makin banyak pula kopi yang saya sruput. Yang jadi favorit sejauh ini ya nescafe classic tanpa gula pakai es batu beh gila itu yahud banget sih. 

Kalau ngomongin ngopi pasti tidak jauh dengan obrolan yang mengalir kemana-mana. Kalau lagi sendiri ya pikiran kita yang mblunder tak tentu arah. Entah ya, tapi kalau saya pribadi suka begitu. Selain kopi hal yang bisa membuat pikiran saya melanglang jauh ya musik dan tulisan. Saya hobi sekali mendengarkan musik dan membaca. Belakangan saya suka sekali sama lagu-lagunya Nadin Amizah, Isyana Sarasvati, Sheila On 7, dan Peterpan atau Noah. Kalau yang dari luar yah pastinya Lana Del Rey, Sasha Sloan, dan Sufjan Stevens. Bagi saya kombinasi lirik yang dalam serta puitis dan nada sedih adalah kombo terbaik. Untuk soal musik saya suka sekali dengan jenis yang mengharukan. 

Bersama dengan lagu kadangkala perasaan yang tak bisa saya rasa muncul. Sebuah lagu mengingatkan saya pada sebuah momen tertentu dalam hidup. Saya akan bilang dua contohnya yaitu lagu Kanyaah-Nadin Amizah secara spesifik seperti merangkul tapi juga menampar saya, mengingatkan saya pada ibu di rumah dan dosa yang saya lakukan. Perihal bagaimana saya bisa bertahan sampai saat ini tak jauh dari campur tangan ibu. Lalu satunya lagi adalah lagu Walau Habis Terang-Peterpan yang mengingatkan saya pada almarhum bapak. Cintanya terasa tak pernah habis untuk saya walau beliau sudah tiada sampai saat ini saya masih menggenggam keyakinan bahwa beliau tak pernah benar-benar meninggalkan saya begitu saya. Bapak itu hebat dan luar biasa, saya bangga, percaya, dan sayang. Saya yakin bapak selalu ada, di hati saya. Dan di suatu tempat yang nanti saya juga akan menyusulnya. 

Lalu cerita yang saya baca. Sejak kecil saya suka menulis cerita. Saya suka berkhayal tentang bagaimana hidup seperti orang lain yang jauh berbeda dari hidup saya. Saya bukan orang yang jago dalam hal berkomunikasi. Nol besar sebenarnya. Saya masih sangat berusaha meningkatkan kemampuan komunikasi interpersonal saya tapi walau saya merasa yang sekarang sudah jauh lebih baik, rupanya masih sangat kurang. 

Tidak bermaksud menyalahkan, tapi sejak kecil, sebagai anak perempuan pertama dari keluarga yang tinggal di pedesaan Jawa Timur yang terkenal dengan stereotipe bahwa orang jawa iti halus, saya diajarkan untuk banyak diamnya dan manut. Tidak banyak melawan, banyak mengiyakan, jangan gampang membantah. Hingga kini hal itu terbawa. Saya cukup responsif sebenarnya, tapi semua respon itu terjadi dalam benak saya, berdebat di sana tanpa bisa saya suarakan. Dalam kepala saya riuh sekali, ramai. Kadang saya merasa memecah diri menjadi beberapa kubu lalu berdebat tentang persoalan yang saya alami hari itu. Dan karena itu saya cukup kesulitan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Kecuali yang sudah dekat. Bahkan pada yang dekat saya kadang tak begitu terbuka. Saya baru sadar belakangan bahwa komunikasi yang lancar dan sehat itu ternyata cukup tricky. Tak heran ada jurusan ilmu komunikasi.

Menulis merupakan media saya untuk meluapkan segala curahan emosi terpendam itu. Menulis juga adalah sarana pengingat saya. Saya orangnya sangat mudah lupa. Untuk beberapa perasaan yang sama sekali tidak ingin saya lupakan selalu saya tulis sedetail mungkin dengan maksud ketika membacanya nanti saya bisa mengingat apa yang terjadi dan bagaimana perasaan saya hari itu. 

Kadang saya merasa kisah yang saya jalani dalam hidup itu adalah kepingan dari perjalanan yang pernah dialami orang lain. Dan ketika menyadari itu saya merasa lega untuk tahu saya tidak sendiri. Tapi kadang saya merasa bahwa saya meninggalkan kepingan diri saya di setiap lagu yang saya dengar, kopi yang saya nikmati, dan tempat yang saya kunjungi. Suatu saat kepingan itu akan semakin banyak seiring dengan perjalanan menemukan jati diri. Dan ketika sampai di ujung jalan saya harap kepingan yang saya tinggalkan bisa menemani orang lain dan jadi berguna untuk mereka 

Komentar