Diri Sendiri



Ada beberapa hal di dunia ini yang akan selalu berubah mengikuti masa dan apa-apanya, berikut diri kita sebagai manusia. Terus bertumbuh, mencari, membaur, mungkin mendirikan rumah, tetapi tak pernah benar-benar mengabadikan dirinya dalam ketetapan yang statis. Proses ini akan begitu panjang saat kita menjalaninya, namun jangan heran juga kalau nanti tiba-tiba rindu terutama ketika kita sedang mengambil jeda sejenak dari pepatnya rutinitas. Hal lewat di masa belakang terasa seperti hari-hari lalu yang baik. Kita bisa tertawa atas tindakan bodoh, kesalahan, atau bahkan luka di masa lalu, kini. Hebat ya, bagaimana kehidupan selalu punya cara pada manusianya.

Lalu diri kita bagaimana? Mungkin kita kerap heran tentang bagaimana cara semesta bekerja pada diri kita masing-masing. Bagaimana kalau akan tetap seperti ini sampai nanti, hingga titik akhir tiba? Kalau tidak sukses apa yang harus dilakukan? Sudah banyak mencoba tapi selalu gagal. Pernah tidak kalian kepikiran hal seperti itu? Sebenarnya itu wajar tidak sih? Apa semua orang juga begitu, atau cuma aku? Kayanya sih semua orang juga pasti memiliki kekhawatiran akan masa depan.

Masa depan dan diri sendiri. 

Saya selalu berpikir kalau melihat quotes terkait menjadi diri sendiri. Pertanyaan seputar apakah sudah cukup saya begini? Haruskah saya menerima diri yang masih jauh dari harapan? Saya bahkan belum mencapai apa-apa hingga sekarang. Tak ada yang bisa dibanggakan dari diri saya saat ini. Semua orang seolah sudah meraih dan menduduki sesuatu, tapi saya dengan pikiran bocahnya masih stagnan. Sesuatu yang hebat atau spesial di dalam diri saya belum ketemu atau mungkin malah tidak ada. Saya tidak bisa menerima diri yang seperti ini sekarang. Tak mungkin.

Maka berangkat dengan pemikiran itu saya melihat kata menjadi diri sendiri dalam konteks lain, sudut pandang berbeda. Atau mungkin memang pengertian yang baru saya paham inilah yang selama ini disuarakan. Perihal pemahaman bahwa menerima dan menjadi diri sendiri tak pernah berarti berhenti berproses menjadi versi terbaik kita. Dimana menerima apa-apa dan semua adanya kita adalah sebuah titik pacu untuk langkah selanjutnya. Penerimaan. Memvalidasi kekurangan dan kepayahan. Lebih mengenal dan mengakrabkan diri dengannya, kalau perlu diajak ngopi bersama sambip nontonin senja yang diiringi petikan akuistik aransemen dari lagu folk band indie kesukaan. Mengetahui bahwa kita memang tidak hebat dalam beberapa hal dan itu wajar. Tak ada manusia yang hebat dalam semua hal, percayalah. Baik dalam semua hal. Tak ada. Ibarat lautan yang dalam, jika kita bisa melakukan semua hal artinya kita hanya menjamah permukaan saja, tak pernah benar-benar dalam apalagi sampai ke palung. Sherlock Holmes saja tidak tahu kalau bumi berevolusi mengelilingi matahari. Kita pasti bagus dalam sesuatu. Jika tidak itu tidak pernah tidak, melainkan belum saja. Mungkin belum saatnya. Mungkin masa kini bukan momentum kita. Mungkin kita masih dipercaya untuk lebih mempercayai takdir bahagia yang menunggu di seberang sana. Perlahan, sembari mendayung dan menikmati pemandangan di kiri-kanan kita melaju. Nanti akan sampai juga. Jangan terburu. 

Menjadi diri sendiri dan menerimanya adalah proses hidup yang panjang. Penerimaan tak pernah mudah. Penerimaan bukan memaksa melupakan. Pemaksaan adalah kejam, diktator, otoriter, atau apalah itu. Meski terus menghidupi eksistensi hari ke hari, belum tentu jadi jaminan kita makin tahu terkait hal pada diri. Maka dari itu memvalidasi adalah hal krusial yang perlu dilalui.

Bagaimana? Menurut saya hal ini bisa dimulai dengan menerima dan mengijinkan diri untuk merasa lalu perlahan membiarkannya memudar seiring masa. Karena luka dan bahagia tak pernah selamanya. Musim saja berganti apalagi suasana hati dan perasaan. Ada beberapa hal yang diluar kontrol kita termasuk apa yang pikiran mau katakan. Apakah kita memprogramnya? Mungkin di beberapa hal iya, tapi bagi saya sebagian besar proses dalam otak sudah berjalan sebagaimana mestinya ia diminta atau bahkan tanpa diminta. Beberapa pemikiran muncul tiba-tiba tanpa rencana. Tak apa. Tak semua hal harus disimpan. Karena pikiran kita selalu menerima apa yang kita beri, jadi daripada mengisinya dengan kebencian dan olokan, akan lebih baik kalau bibir dan otak yang sama dipakai untuk hal-hal positif. Lho, katanya tadi mengizinkan diri kita merasa, kok lebih baik memikirkan hal positif, kan pikiran kita tak selalu positif. Dan itulah, pentingnya validasi, bahwa tak apa sedih tak apa merasa hilang arah, tak apa merasa membuang waktu, tapi jangan tenggelam terlalu lama. Ada benang cerita yang menunggu dirajut, maka melepaskan dan mengikhlaskan akan selalu menjadi teman sepanjang jalan. 

Ada banyak sekali hal yang tak kita mengerti di semesta, diri sendiri adalah salah satunya. Mungkin kita harus mulai berbincang lagi, tak perlu memulai dengan tanya padanya perihal apa yang kita kejar atau hidup seperti apa yang kita damba, kalau itu terlalu sulit. Mulai saja dengan hal dasar, seperti siapa namamu dan kalau nama itu diganti apa akan tetap kamu atau berubah. Jangan-jangan itu malah lebih berat? Tidak tahu deh. Yang penting coba berdialog dulu. Membicarakan prediksi terkait apa yang terjadi pada film yang sedang ditonton juga boleh. 

Kegagalan memang menyebalkan. Namun kita tahu, siapa sih yang ingin gagal dan terpuruk? Tapi gagal memang tidak apa-apa dan wajar. Itu normal. Kegagalan adalah bagian dari proses bertumbuh dan harus selalu ada pada setiap kehidupan manusia. 

Belakangan saya menonton video di kanal Youtube, semacam chit chat dengan anak-anak tentang self defense. Menariknya ada seorang bocah berumur sembilan tahun bilang kalau semua manusia itu normal dan ia merasa tak ada yang perlu membuatnya tidak percaya diri atau merasa lebih rendah dari yang lain, baginya manusia sama. Lalu seseorang yang lebih dewasa di sampingnya bertanya, kalau semua manusia itu normal apa artinya kita semua sama? Apa artinya tidak ada yang spesial? Menarik sekali. Kita sering bahwa kita spesial. Dan si bocah menjawab, memang begitu, semua manusia normal. Para artis dan idola kita semua normal. Mereka juga manusia seperti kita yang bisa merasakan sesuatu. Perbedaannya mereka berlatih dan berusaha lebih keras untuk menjadi mereka sekarang. Lalu si orang dewasa menyimpulkan kita semua normal, karena itulah kita semua spesial. Sementara bocah lain menjawab, tak ada yang perlu membuat kita merasa terpuruk, karena hanya dengan menjadi dirimu yang merupakan satu-satunya di seluruh semesta yang bahkan tak terbayang seberapa luasnya dan kau ada di sana, dengan segalamu, itu sudah cukup untuk membuatmu mencintai diri sendiri. 

Normal dan spesial. 

Lautan eksistensi tanpa batas dan kita adalah bagian yang menghidupinya.

Sampai jumpa di postingan selanjutnya, semoga.





Komentar