Krisis Dalam Beranjak Dewasa




Ngomongin soal krisis usia seperempat abad atau yang bekennya disebut quarter life crisis, di sini ada yang belum tahu maksudnya apa? Engga apa-apa. Itulah gunanya blog ini dibuat. Mari kita bahas topik yang menurut aku sangat menarik ini. Aku sendiri baru tahu adanya kata krisis seperempat abad, sekitar setahunan lalu dari videonya Gitasav di Youtube. https://youtu.be/FkslWFkDvUo

Dilansir dari Wikipedia, Quarter Life Crisis atau krisis usia seperempat abad merupakan istilah psikologi yang merujuk pada keadaan emosional yang umumnya dialami oleh orang-orang berusia 20 hingga 30 tahun seperti kekhawatiran, keraguan terhadap kemampuan diri, dan kebingungan menentukan arah hidup yang umumnya dialami oleh orang-orang berusia 20 hingga 30 tahun. Krisis ini dipicu oleh tekanan yang dihadapi baik dari diri sendiri maupun lingkungan, belum memiliki tujuan hidup yang jelas sesuai dengan nilai yang diyakini, serta banyak pilihan dan kemungkinan sehingga bingung untuk memilih.[1] https://id.m.wikipedia.org/wiki/Quarter-life_Crisis

Biasanya dan harusnya krisis semacam ini menimpa seseorang di umur-umur seperempat abad atau bisa kurang dan lebih sedikit. Aku sekarang sedang menuju usia itu. Belum benar-benar di sana. Tapi rasanya aku mulai tahu, oh jadi begini ya maksudnya. Dulu sih, waktu pertama kali dengar aku gak kebayang. Emangnya segawat apa sih hal ini sampai disebut krisis? Ya kalau misalnya tujuan kita gak sesuai sama lingkungan atau kenyataan yang dihadapi bukannya tinggal ikhlasin aja dan lepasin. Cari yang lebih realistis atau fit in. Kalau emang seberat itu meninggalkan mimpi ya udah abaikan lingkungan dan apa kata yang lain. Yakin aja sama mimpi yang dipegang. Begitu kataku yang masih tak mengerti. Ternyata krisis usia seperempat abad atau usia-usia menuju dewasa ini sangat krusial. Kadang tak hanya soal mimpi tapi perihal diri sendiri. Seringkali muncul keraguan dan tanya dalam diri perihal, siapa aku ini? Aku maunya apa sih? Apa yang benar-benar ingin aku lakuin? Hidup seperti apa yang aku damba? Apa hal yang aku bisa? Apa aku bisa berguna.

Setelah lulus SMA, aku mulai mencicip rasa dunia yang sebenarnya, sedikit demi sedikit. Dunia yang bagiku jauh berbeda dari bangku sekolah yang dimana masalah terberatnya mungkin pr matematika, guru ngeselin, jenuh, tugas banyak, kelompok gaplek dan konflik antar teman. Kupikir sekolah sudah merepresentasikan paling gak sedikitlah dari realita di planet nomor tiga dari tatasurya ini. Ternyata kenyataan tetap aja beda cuy.

Banyak orang bilang, dunia yang sebenarnya itu baru dimulai setelah lulus kuliah.

Ya masalahnya, sekarang kan aku belum melalui fase itu jadi tidak tahu. Kalau sudah nanti aku bilang. Tapi untuk saat ini aku ingin bahas krisis usia seperempat abad menurut pandanganku sebagai seorang lulusan SMA yang tentu saja tidak valid, ngaco dan banyak salahnya. Ini hanya opiniku belaka, mungkin ada yang merasa sama, namun tentu tak sedikit juga yang beda. Namanya juga manusia. Jadi mohon dibaca dengan pikiran terbuka seperti pakaian yang biasa digunakan di pantai saat angin sepoi-sepoi, terbuka.

Kebingungan berujung krisis ini kurasa dimulai dari kata SNMPTN. Sejak awal memang semua orang pada bilang kalau SNMPTN merupakan hal untung-untungan dan susah banget bisa kejaringnya. Aku pun juga berpikir begitu. Semuanya berusaha membuat nilai dari semester 1-5 naik, katanya supaya lebih gampang masuk SNMPTN. Meski tak ada juga yang tahu betul bagaimana sistemnya. Ada yang ikut bimbingan belajar, melakukan apapun yang dibisa, dan memberikan semuanya. Tapi aku? Hahahaha... Tentu saja nilaiku naik turun tidak stabil macam roller coaster WBL yang di pinggir pantai.

Aku mah anak malas. Tidak punya uang juga buat bimbel. Selain itu aku memang tidak suka diajari. Paket komplit sekali bukan. Aku nih anak rebahan banget. Jangan ditiru ya kawan-kawanku yang budiman. Beruntungnya aku punya rekan sebangku yang hebat banget. Dia tuh seperti kamus soal perguruan tinggi buatku. Wawasannya banyaaak banget sampai aku dibuat heran. Usia kami hampir sama dan tumbuh di wilayah yang tidak terlalu berbeda. Tapi kalau ditanya soal universitas aku nol besar. Aku baru tahu SNMPTN itu apa setelah dia jelasin dengan begitu sabar dan detail. Dia ngasih tahu aku yang bodoh ini begitu banyak informasi tentang ini-itu. Yang harusnya begini-begitu. Selain itu dia orangnya supel dan tidak pernah sedikitpun aku merasa digurui meski faktanya dia sedang menyuapiku informasi hebat. Dia guru yang hebat meski aku tahu ia tak mau jadi guru. Tapi bagiku, bakat yang anugerah Gusti Mahakuasa itu mengembus dalam tiap tarikan napas dan langkahnya.

Kami punya kampus impian yang berbeda ia ingin di Jawa Timur dan aku mendamba yang di Jawa Tengah. Sebut saja kampus rencana A.

Kita pernah ada diskusi tentang suatu keharusan untuk diterima SNMPTN. Bagi kami berdua, bisa lolos dalam seleksi bergengsi tersebut merupakan hal yang sangat wah. Sangat hebat. Kami tahu SBMPTN itu sulit bukan main dan pesaingnya banyak, dari tahun lalu juga. Kami pun sadar hanya anak sekolahan biasa dengan nilai rata-rata. Kampus rencana A rasanya jauh sekali dari gapaian. Alhasil kami rundingan lalu setuju untuk memilih kampus biasa saja asal bisa lolos. Sebut saja kampus rencana B. Meski seiring waktu, kampus impian selalu melambai-lambai di tengah jalan. 

Suatu ketika alumni yang berkuliah di kampus impianku datang menghadiri expocampus sekolah. Aku dan teman sebangkuku ini sangat antusias. Terlampau tertarik. Sejak awal kami sudah menargetkan stan kakak yang satu ini. Kebetulan yang kuliah di kampus itu dari sekolahku hanya dia seorang. Menjadikannya seperti berlian yang menarik mata memandang. Apalagi almamater yang sangat elegan itu. Aku dan temanku tentu saja mampir ke stannya ketika sudah lumayan sepi, salah, kami ada di sana menunggu sampai sepi. Menyimak semua penjelasan. Si kakak alumni ini kebetulan mengajak juga teman kuliahnya. Kami berempat bicara terlampau banyak hal. Semua pertanyaanku terjawab. Pembawaan kakak yang asik dan supel serta terbuka membuatku dan teman sebangkuku begitu nyaman. Ia bahkan menunjukkan video ospeknya dan masuk ke kampus itu adalah hal yang sangat berarti dalam hidupnya. Ia tak bilang langsung begitu, tapi matanya berbinar sampai berkaca-kaca. Raut sumringah itu mengatakan segalanya. Kami bicara lama sekali sampai kakiku pegal karena berdiri dan tidak sadar semua orang sudah pulang. Meninggalkan tempat expocampus. Padahal hari itu sudah ada janji akan hadir ke ulang tahun teman sekelasku. Malah lupa karena capek tapi senang.

Kakak itu memberi kami motivasi bahwa tak pernah ada yang tahu masa depan itu bagaimana. Jangan cuma terus menerka. Coba saja atau kau tak akan pernah tahu dan tetap mereka-reka. Singkat cerita kecintaan pada kampus impian ini membuatku berjanji akan daftar ke sana. Aku tak peduli pada rundingan itu lagi. Persetan, aku ingin kuliah di kampus impian.

Tapi tetap saja sih aku malas belajar. Aku terlalu banyak leha-leha jadi pas penjurusan SNMPTN bingung banget mau kemana dengan nilai begini. Akhirnya aku lepas lagi kampus impian itu dan beralih ke kampus rencana B. Dari sekian banyaknya expocampus yang kuhadiri, aku tahu cukup banyak hal. Termasuk fakta bahwa kampus rencana B ku sendiri cuma mau ngambil 18an anak dari SNMPTN tahun ini. Lalu, pas aku cek di website resminya tahun lalu yang mendaftar di jurusan itu lewat SNMPTN 1200/1300an anak dan yang diambil cuma 14, kan gila. Gimana aku punya amunisi buat melawan mereka. Padahal aku sudah meredakan ego dan merelakan kampus impianku. Tapi karena saking bodoh dan malasnya aku kampus rencana B pun mendepakku. 

Daripada kalah lalu kecewa, aku memilih daftar ke kampus yang peminatnya dikit dan masih tergolong baru, kusebut ia kampus rencana C. Aku berunding lagi sama teman sebangkuku. Ia juga berpikir daftar ke kampus itu. Guru BK bilang peluang ke situ banyak banget. Ditambah lagi temenku jaman SD yang memiliki tempat tersendiri di hatiku ngontak lagi setelah sekian lama dan dia bilang daftar juga di kampus itu. Malah, udah finalisasi. Wah parah nih aku juga harus di situ, pikirku saat itu.

Pas masih menimbang-nimbang, teman sebangkuku pun sempet kirim jepretan layar kalau dia milih ke kampus rencana C hasil rundingan kita. Aku semakin yakin dong. Berapi-api. Menggebu. Seketika itu juga aku bilang ke ibu dan memberanikan diri daftar ke sana. Meski ia tidak seratus persen memberi restu aku tetap daftar ke situ. Aku sadar aku melakukan kesalahan begitu besar. Selain asal pilih kampus dan jurusan. Aku juga asal mendaftar beasiswa. Harusnya aku finalisasi tanggal 31 Maret malah ngikutan jadwal yang reguler semata karena takut server error. Besoknya, sedikit rasa kecewa muncul di dalam diriku. Tidak sedikit juga sih. Teman sebangkuku bilang dia tidak jadi daftar ke kampus rencana C kami. Dia bahkan konfirmasi sama lembaga yang biasa menaungi perhitungan nilai untuk SNMPTN dan dia memilih kampus lain yang lebih baik dari kampus rencana C. Aku kecewa sih apalagi aku sudah finalisasi. Tapi aku tak mau juga membuat suasana hatinya tidak baik. Dia sudah memberiku begitu banyak, terlampau banyak. Aku sangat berterimakasih padanya sampai tak bisa mengungkapkan apa yang ingin kukatakan. 

Menjelang pengumuman SNMPTN, aku baru sadar alamat rumahku salah dan data LTMPT adalah permanen setelah finalisasi. Guru BK berkali-kali menekankan kalau salah data sedikit saja bisa tidak diterima SNMPTN. Mendengar itu aku jujur agak senang. Ah, mungkin aku tidak akan diterima di sana. Semoga, kan alamatku salah. Begitu pikirku. Makanya aku sama sekali tidak deg-degan menunggu pengumuman SNMPTN yang dinanti semua orang ini. Aku tidak merasakan apa yang teman-temanku rasakan. Aku tidak tertarik dengan SNMPTN. Aku sudah menargetkan kampus impianku lagi dan mulai belajar. 

Hari itu. Aku masih begitu ingat. Hari itu, 14 April 2020. Aku yang kehabisan kuota lari ke kebun sengon di mana ada nyantol koneksi internet warung bakso sebelah rumah demi melihat pengumuman yang kuharap merah. Sialnya, aku diterima SNMPTN. Malah, teman-temanku banyak sekali yang merah, termasuk teman sebangkuku yang tidak memilih kampus rencana C kami dalam SNMPTN.

Aku tidak senang. Sama sekali tidak senang. 

Ada sedikit senang ketika temanku SD juga diterima. Perlahan aku mulai berdamai. Kalau memang ini jalan yang Gusti inginkan untukku. Ya sudah, dengan hati lapang aku menerimanya. Tak apalah bukan kuliah di kampus dambaan. Setidaknya aku sudah diterima dan tahu mau kemana setelah ini. Banyak orang bilang, sekolah itu dimana saja sama. Aku merasa tak layak meminta lebih di saat temanku yang lain tersedu-sedan akan hasil mereka.

Aku pun menjalani dengan senang hati semua proses pemberkasan tapi sekali lagi aku dibuat bungkam. 30 April 2020, pengumuman UKT dari pihak universitas dan aku yang rencananya daftar pakai beasiswa ternyata tidak lolos lalu dikenai UKT tertinggi. Rasanya seperti disambar petir. Aku berhenti menatap ponsel hari itu. Berhenti bicara. Mengurung diri. Aku sadar, keluargaku tak akan mampu menghadapi itu. Aku tahu. Melepaskannya pun tak akan mudah, ada konsekuensi yang harus kuhadapi dan tentu itu berat juga sulit.

Setelah menguatkan diri aku bicara pada ibuku. Ia bilang tak apa, aku bisa kerja dulu. Meski aku tak ingin begitu, aku hanya mengangguk saja. Lalu ketika aku sudah siap, aku bilang pada teman sebangkuku dan guru BK. Aku dimarahi habis-habisan dan di suruh menemui kepala sekolah. Tapi saat aku hadir hari itu dengan penjelasan singkat berbalut sedu guru BKku mengerti dan tak lagi memintaku menemui kepala sekolah. Ia mengontak pihak universitas, meminta solusi, dan mau membantu memberi dana. Aku diberi solusi untuk mencicil selama tiga kali dalam jangka waktu tiga bulan. Aku bilang ke ibuku. Ia bilang mungkin bisa kalau cuma sekali. Tapi kedepannya bagaimana, aku pun merenung banyak sekali. Hingga aku tiba dikeputusan untuk mengajukan surat pengunduran diri sembari berpikir, mungkin ini jawaban Gusti atas inginku. Mungkin ini bukan jalanku. 

Aku tahu ini akan menyebabkan banyak masalah bagiku dan bagi adik kelasku. Tak ada yang tahu soal ini selain aku, ibu, teman sebangkuku, guru BK, wali kelas, dan sahabatku. Aku menyembunyikannya. Tak ingin mengundang tanya. Jujur, luka itu masih begitu menganga. Aku tak mampi membicarakannya. Aku benci atas diriku yang dungu.

Aku lalu keluar dari semua grup universitas. Hingga beberapa hari lalu seorang kakak tingkat mengontakku dan menanyakan sebab keluarnya aku. Ia baik sekali dan perhatian, bahkan sampai ditanyakan ke bagian penerimaan. Aku berterimakasih sekali. Satu hal yang membuatku cukup sedih. Tak sekalipun teman SDku itu menanyakan ada apa. Ia tahu jelas aku keluar dari grub. Ia tahu juga kakak tingkat itu sampai mencariku. Aku bahkan yang memberitahunya hasil SNMPTNnya yang hari itu ia kehabisan kuota juga, tak dipedulikannya. Aku tahu mungkin ini terdengar drama. Tapi terserah. Sejak awal aku emang salah. Aku yang bersalah. Jadi aku harus bisa menanggung konsekuensinya.

Hari itu aku lepas mimpiku. 

Aku cari mimpi baru. 

Aku menggambar lagi. Menulis begitu banyak. Termasuk blog ini. Aku ingin menghidupi diri ini. Mulai mencari-cari lowongan kerja di sekitar bersama sahabat. Ibu sudah mengatakan berulang kali aku harus kerja. Meski dalam benak tak ingin, aku harus melakukannya. Aku tak ingin beranjak dewasa. Mungkin bagi orang lain aku sudah dewasa. Bagiku aku masih kanak. Belum tahu banyak hal. Belum sempurna. Belum matang. Belum siap menghadapi dunia. Belum tahu nantinya harus bagaimana. Masih terlampau ragu untuk mengambil langkah. Begitu kaku menyesuaikan. Aku tak ingin terburu masa. Tapi aku sadar hidup butuh biaya.

Krisis usia seperempat abad ini menghentakku hingga seguncangnya. Semuanya terasa abu. Mimpi yang semula satu, hilang tak ada lagi, kadang mendadak ada tujuh dalam sehari, lalu besoknya lenyap ditelan bumi. Inginnya begini saja sederhana. Tapi entah kenapa tidak bisa, tidak bisa. 

Kalian bagaimana? Sudah melalui krisis ini? Bagaimana cerita kalian? Bagaimana kalian melewatinya? Beritahu aku yang dungu ini. Yuk bercerita bersama.

Komentar

  1. Oi, kelompok gaplek emang frasa yang tepat untuk memfasrakan betapa gapleknya kadang masa sekolah. Hei si dungu, si tolol ini mau berkata salut atas pendeskripsian kampus A B C yang tidak menyebutkan langsung nama kampusnya karena itu hal yang baik untuk tidak dikatakan, rasanya seperti stratifikasi pendidikan dan rasisme manusia jadi kau sebut dengan istilah A B C menutupinya dan aku salut padanya. Sebenarnya kisahku lebih tolol. Setidaknya kau masih menghidupi dirimu sendiri. Tapi itu awal pikiranku. Tidak ada yang tahu rasamu yang kau rasa. Aku tak berhak berkata kau lebih baik dariku karena kau menghidupi dirimu sendiri. Aku kurang sayang pada umurku. Aku menyia-nyiakan waktu seakan-akan menunggu waktu yang tepat tapi pada dasarnya, siapa yang tahu masa depan? Kuhabiskan beberapa minggu yang tak lama sambil menyiksa diri dan membuat ibuku sering marah. Aku tahu, waktunya menjemput krisis setengah abad. Lagipula jika ada umur, aku sebentar lagi menjejaki dua puluhan. Masa yang enak untuk nikah muda karena masih muda dan segar dalam berbagai hal. Tapi tidak. Aku saja belum bisa cinta pada diriku sendiri dan cinta pada hidupku sendiri seutuhnya. Bagaimana bisa aku kuat untuk mencintai orang lain? Aku masih harus belajar dan masa muda tak pernah berhenti kecuali kau berpikir sudah tua dan tidak muda lagi. Hampir setiap malam jantungku berdentum sangat kuat dan cepat karena alasan takut jika diriku memburuk atau jadi jahat. Aku tahu, aku harus menghidupi diriku lagi dan optimis pada masa depan. Kata-kata mudah untuk diucapkan, semua pun tahu itu. Ayo kita selesaikan sampai benar-benar selesai.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aaaaa pengen nangis bacanya. Purple u 💜 ayo kita lalui ini bersama sampai akhir

      Hapus

Posting Komentar